Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya, telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Bupati yang menegaskan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan wilayah adat kepada empat sub-suku di wilayah Distrik Konda, Sorong Selatan, hari ini.
Bupati Sorong Selatan Samsudin Anggiluli, yang diwakili oleh Sekretaris Daerah Dance Nauw, secara langsung memberikan SK tersebut kepada perwakilan masyarakat adat di Distrik Konda. Keempat sub-suku tersebut meliputi Gemna, Nakna, Yaben, dan Afsya, masing-masing dengan wilayah adat yang telah diakui.
Pemberian pengakuan ini menjadi bentuk penghormatan terhadap usaha dan kearifan lokal yang telah dijaga dan dilestarikan secara turun temurun. Dance juga menyatakan bahwa pengakuan ini merupakan wujud komitmen untuk melindungi lingkungan dan memastikan martabat serta kesejahteraan masyarakat adat.
Diharapkan dengan pengakuan ini, semangat gotong royong dan kebersamaan dalam mengelola wilayah adat demi kesejahteraan bersama akan semakin terjalin dengan lebih kuat. Pengesahan wilayah hutan adat di Distrik Konda mencapai 40.282,556 hektar yang diserahkan kepada dua suku besar, Tehit dan Yaben, melalui pendampingan Konservasi Indonesia (KI). Di acara tersebut, SK juga diberikan untuk masyarakat hukum adat Knasaimos, dengan wilayah adat seluas 97.441 hektar di Distrik Saifi dan Seremuk, yang sebelumnya didampingi oleh LSM Greenpeace Indonesia dan Bentara Papua.
Program Director Konservasi Indonesia, Roberth Mandosir, menekankan bahwa pemetaan wilayah adat tidak hanya untuk pengakuan, perlindungan, dan penghormatan, namun juga memiliki peran besar bagi generasi selanjutnya dari masing-masing sub-suku yang berdiam di Konda.
Nikolas Mondar, perwakilan dari masyarakat sub-suku Nakna, menyambut baik dikeluarkannya SK Bupati untuk Distrik Konda. Dia juga menambahkan bahwa keterlibatan LSM seperti KI sangat membantu untuk memahami pengelolaan hutan adat dengan lebih baik.
Ketua Dewan Persekutuan Masyarakat Adat Knasaimos, Fredrik Sagisolo, menyatakan bahwa pengakuan wilayah adat sangat penting untuk memberikan kepastian hukum dan memastikan keberlangsungan hidup masyarakat adat.
Berdasarkan catatan Greenpeace Indonesia, selama dua dekade terakhir, masyarakat Knasaimos telah berjuang untuk melindungi tanah dan hutan adat dari eksploitasi pihak luar. Mereka menolak pembalakan hutan oleh perusahaan sawit dengan gigih, serta berbagai upaya lainnya untuk mempertahankan keberadaan dan kelestarian wilayah adat mereka.