Konsep “JIWA” sendiri berakar dari nilai dan kearifan komunitas adat Kasepuhan Gelar Alam di Sukabumi, Jawa Barat. Komunitas ini dikenal setia menjaga tradisi bertani alami, leuit (lumbung padi), serta ritual adat yang diwariskan turun-temurun. Meski sejak 2009 telah terkoneksi dengan dunia luar melalui program Internet Masuk Desa dari Kemkomdigi, mereka tetap teguh mempertahankan nilai lokal yang menjadi identitas utama. Meutya menilai pilihan Kasepuhan Gelar Alam sangat relevan, sebab kawasan itu menjadi simbol penopang ketahanan pangan, sejalan dengan program Astacita Presiden Prabowo Subianto.
Pertunjukan “JIWA” di Osaka Expo 2025 tampil sebagai panggung kolaborasi lintas disiplin: Kafin Sulthan menghadirkan vokal penuh energi, DJ Hendra menyuguhkan aransemen musik daerah yang dihidupkan dengan sentuhan modern, dan Batavia Dancers mempersembahkan koreografi yang memadukan gerak tradisional dan kontemporer. Ditambah dengan visual digital yang imersif, penonton seolah dibawa menyusuri perjalanan dari akar budaya Nusantara menuju cakrawala inovasi masa depan.
Dalam pandangan Meutya, teknologi tidak seharusnya dipandang sebagai lawan budaya. Justru, ketika dikelola secara bijak, teknologi dapat menjadi mitra yang memperkuat dan mengangkat nilai-nilai tradisi. “Budaya adalah jati diri kita, teknologi adalah kendaraan kita, dan panggung dunia adalah ruang kita untuk bersuara,” tegasnya.