Bhima juga mencatat bahwa negara-negara seperti Vietnam yang berusaha menegosiasikan tarif impor dengan Amerika Serikat hanya mampu menurunkan tarif menjadi 20% dari 46%. Meskipun demikian, mereka tidak mendapatkan klausul akses penuh ke pasar untuk produk-produk dari AS seperti yang didapatkan Indonesia. Hal ini menjadi pertanda bahwa Indonesia mungkin sudah kehilangan daya tawar dalam negosiasi perdagangan internasional.
Salah satu alasan mengapa Indonesia setuju untuk memberikan tarif 0% kepada produk AS bisa jadi karena kekhawatiran terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di sektor-sektor industri padat karya seperti alas kaki dan pakaian jadi. Ketakutan akan dampak sosial yang lebih luas ini mungkin menjadi pertimbangan utama dalam kebijakan tersebut.
Berbicara tentang dampak bagi masyarakat Indonesia, Bhima menjelaskan bahwa produk-produk utama yang diimpor dari AS ke Indonesia antara lain suku cadang pesawat, bahan bakar minyak (BBM), serta produk pangan seperti kedelai, gandum, dan jagung. Penurunan biaya tarif impor ini, menurutnya, akan berujung pada harga barang yang lebih murah, tetapi pada saat yang sama dapat memberikan dampak negatif bagi petani lokal.
Dia memperingatkan bahwa petani jagung di Indonesia berpotensi mengalami kerugian sangat besar karena tidak mampu bersaing dengan produk jagung impor yang akan membludak di pasar. "Petani jagung lokal bisa rugi besar, bahkan terpaksa gulung tikar," ujar Bhima. Selain itu, peternak susu dan produsen olahan seperti keju juga akan merasakan dampak yang cukup signifikan akibat kebijakan ini.