Bandung telah lama dikenal dengan julukan "Paris van Java" yang tidak hanya merujuk pada keindahan arsitektur kolonialnya, tetapi juga pada udaranya yang sejuk dan menenangkan. Citra Bandung sebagai kota dengan suhu rendah, terutama pada malam hari atau dini hari, telah melekat kuat di benak banyak orang. Namun, seiring dengan pesatnya urbanisasi, pembangunan infrastruktur, dan perubahan iklim global, muncul pertanyaan: apakah Bandung masih sedingin dulu? Jawabannya kompleks, melibatkan berbagai faktor yang memengaruhi kondisi termal kota kembang ini.
Perubahan Suhu Rata-Rata: Realita yang Terukur
Data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) serta studi lingkungan menunjukkan adanya tren peningkatan suhu rata-rata di Bandung dalam beberapa dekade terakhir. Peningkatan ini tidak terjadi secara drastis dalam semalam, melainkan akumulatif dan bertahap. Fenomena ini umum terjadi di banyak kota besar di dunia yang mengalami pertumbuhan pesat. Suhu rata-rata harian, terutama suhu minimum pada malam hari, cenderung tidak lagi serendah dulu di pusat-pusat kota. Pergeseran ini bisa dirasakan langsung oleh penduduk lama yang membandingkan kondisi suhu saat ini dengan pengalaman mereka puluhan tahun silam. Angka-angka ini menjadi indikator konkret bahwa ada perubahan signifikan pada iklim mikro kota Bandung.
Efek Pulau Panas Perkotaan: Jebakan Beton dan Aspal
Salah satu faktor utama yang berkontribusi pada peningkatan suhu di Bandung adalah fenomena Pulau Panas Perkotaan (Urban Heat Island/UHI). UHI terjadi ketika area perkotaan menjadi jauh lebih hangat daripada daerah pedesaan di sekitarnya. Di Bandung, hal ini diperparah oleh:
Pembangunan masif: Beton dan aspal yang mendominasi permukaan kota menyerap dan menyimpan panas matahari di siang hari, lalu melepaskannya secara perlahan di malam hari. Bangunan tinggi juga dapat memerangkap panas dan menghambat sirkulasi udara alami.