ASITA menilai praktik semacam ini, jika dibiarkan, akan memukul pelaku usaha lokal, khususnya UMKM yang menjadi tulang punggung industri pariwisata. Beban biaya operasional tinggi ditambah minimnya pengawasan terhadap pelanggaran membuat banyak agen perjalanan terancam gulung tikar.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, ASITA mengusulkan kolaborasi konkret antara pelaku industri dan pemerintah yang mencakup empat pilar: pengawasan ketat terhadap praktik ilegal, pemberdayaan pelaku lokal melalui promosi dan insentif, edukasi kepada wisatawan agar menggunakan jasa resmi, serta keterlibatan asosiasi dalam penyusunan kebijakan pariwisata.
Nunung juga mengusulkan pembentukan forum komunikasi rutin antara pelaku industri pariwisata dan Kementerian Pariwisata yang digelar setiap enam bulan. “Forum ini bisa jadi ruang bagi pelaporan kondisi di lapangan, serta menjadi dasar dalam merumuskan kebijakan yang lebih tepat sasaran dan berpihak pada pelaku domestik,” ujarnya.
Kekhawatiran serupa juga disuarakan oleh akademisi pariwisata dari Universitas Udayana, Prof. I Putu Anom. Ia menyoroti kecenderungan wisatawan asing yang kini lebih memilih menginap di vila atau kos ilegal yang menyebabkan okupansi hotel resmi menurun tajam. “Jumlah wisatawan meningkat, tapi tidak berdampak langsung pada sektor perhotelan. Ini ironi besar,” jelasnya.