Polemik soal patung Dewa Perang Kongco Kwan Sing Tee Koen tidak bisa dipandang selintas. Apalagi dengan menganggap penentangnya sebagai kelompok intoleran yang sama artinya dengan memberikan stempel buruk kepada kelompok tersebut.
Persoalan pembangunan patung setinggi 30 M di Tuban, Jawa timur tersebut tidak terkait soal perbedaan agama. Penolakan atas patung yang berdiri di lingkungan Kelenteng Kwan Sing Bio Tuban itu pun tidak bisa disamakan dengan penghancuran patung-patung tokoh pewayangan oleh FPI di Purwakarta beberapa tahun yang lalu.
Kongco adalah panglima perang yang didewakan oleh umat Khonghucu. Ini yang pertama harus diperhatikan. Kongco tidaklah sama dengan Dewa Wisnu, Dewa Bayu, Dewa Brahma dalam kepercayaan Hindu.
Wisnu, Bayu, Brahma, dan lainnya dalam kepercayaan Hindu adalah Dewa, bukan manusia yang didewakan.
Pendewaan Kongco adalah hak dari umat Khonghucu. Demikian juga dengan pembangunan patungnya. Jika memandang dari sisi keagamaan, maka penolakan terhadap pembangunan patung merupakan perbuatan intoleran yang bertentangan dengan Pancasila.
Tetapi, jika memandang Kongco sebagai figur panglima perang, maka penolakan atas pembangunan patungnya tidak bertentangan dengan Pancasila. Bahkan, penolakan atas patung Kongco merupakan wujud dari rasa nasionalisme itu sendiri.
Dan, sebagai panglima perang, Kongco pastinya memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang. Ia adalah pahlawan bagi pihak yang dibelanya. Sebaliknya, Kongco pun merupakan penjahat bagi pihak yang dilawannya.
Hanya karena kemenanganlah Kongco digambarkan sebagai sosok dewa yang dipuja kubu pemenang perang.
Hal ini mirip dengan stigma terhadap Pangeran Diponegoro yang oleh bangsa Indonesia disebut sebagai pahlawan, sedangkan oleh Belanda dituding sebagai ekstrimis.
Tidak heran kelompok penolak patung Kongco juga terdiri dari ormas-ormas nasionalis. Kelompok-kelompok ini menganggap keberadaan patung Dewa Perang Kongco sebagai simbol dari hegemoni (bangsa) China atas Indonesia.
Pembangunan patung yang belum berizin pun dapat menciptakan gesekan baru di dalam negeri mengungat dalam waktu yang bersamaan berkembang polemik tentang pembangunan Meikarta yang juga belum memiliki izin, Dan sebelumnya, pengembang proyek reklamasi teluk Jakarta pun belum menyelesaikan izinnya.