Konflik berkepanjangan antara Israel dan Iran kembali memanas. Kali ini, eskalasi tersebut turut menyeret intervensi militer Amerika Serikat, yang kemudian memicu kekacauan besar dalam dunia penerbangan internasional, terutama di wilayah Timur Tengah. Ribuan penumpang telantar, ratusan jadwal dibatalkan, dan ruang udara yang sempat ditutup menjadi bukti nyata betapa rentannya industri aviasi terhadap dinamika geopolitik.
Meskipun kini wilayah udara telah kembali dibuka, dampaknya masih terasa. Beberapa maskapai penerbangan tetap memilih untuk menunda atau membatalkan penerbangan mereka demi menjaga keselamatan penumpang dan kru. Ketegangan antara negara-negara besar tersebut tak hanya berdampak di darat, tapi juga di langit yang biasanya menjadi jalur lalu lintas utama berbagai maskapai dunia.
Ketegangan Memuncak: Serangan Rudal Iran terhadap Pangkalan AS
Mengutip laporan dari Al Jazeera, kekacauan dimulai ketika Iran meluncurkan serangan rudal ke Pangkalan Udara Al Udeid yang terletak di Qatar pada hari Senin (23 Juni). Serangan tersebut langsung memicu penutupan ruang udara oleh pemerintah Qatar selama beberapa jam. Sebagai reaksi cepat, maskapai nasional Qatar Airways langsung mengumumkan penghentian sementara seluruh operasional penerbangan akibat kondisi darurat tersebut.
Langkah ini bukan tanpa alasan. Pangkalan udara Al Udeid merupakan fasilitas militer penting yang digunakan oleh Amerika Serikat untuk berbagai operasi militer di kawasan tersebut. Serangan ke pangkalan ini menunjukkan bahwa konflik telah menyentuh titik yang sangat sensitif dan membahayakan aktivitas penerbangan sipil.
Efek Domino: Maskapai Internasional Berjatuhan
Setelah serangan terjadi, sejumlah maskapai besar langsung mengambil tindakan tegas. Banyak dari mereka memilih untuk membatalkan penerbangan ke wilayah yang berdekatan dengan zona konflik. Yang paling terdampak adalah maskapai dari Qatar dan Uni Emirat Arab—dua negara yang berlokasi hanya sepelemparan batu dari Iran, di seberang Teluk Persia.