Di meja makan orang Indonesia, kerupuk bukan cuma pelengkap, tapi sudah jadi bagian tak terpisahkan dari hidangan. Mulai dari nasi goreng, soto, gado-gado, sampai makan nasi putih sederhana, kerupuk selalu hadir. Kehadirannya yang universal di berbagai hidangan ini seringkali memunculkan pertanyaan: kenapa orang Indonesia begitu suka dengan kerupuk? Jawabannya tidak sesederhana rasa gurih dan renyahnya, melainkan melibatkan faktor sejarah, budaya, dan bahkan sensasi makan yang unik.
Sejarah Panjang dan Ketersediaan yang Luas
Kerupuk bukan makanan baru bagi masyarakat Indonesia. Jejaknya bisa dilacak hingga berabad-abad lalu. Meskipun catatan sejarahnya tidak terlalu detail, kerupuk diyakini sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit, awalnya dibuat dari bahan dasar yang melimpah seperti tepung tapioka dan ikan. Ketersediaan bahan baku yang mudah didapat, seperti udang, ikan, atau tapioka, membuat kerupuk bisa diproduksi secara massal dan terjangkau di seluruh wilayah Nusantara. Hal ini menjadikannya makanan rakyat yang bisa dinikmati oleh semua kalangan, dari pedesaan hingga perkotaan.
Proses pembuatannya yang relatif sederhana—dari adonan, dikukus, diiris tipis, dijemur, lalu digoreng—memungkinkan kerupuk bertahan lama. Ini sangat cocok dengan iklim tropis Indonesia yang panas, di mana makanan bisa cepat basi. Kerupuk yang kering bisa disimpan berbulan-bulan dan siap digoreng kapan saja, menjadikannya pilihan praktis untuk persediaan pangan. Ketersediaan yang meluas dan harga yang ekonomis inilah yang menancapkan kerupuk sebagai camilan dan lauk pendamping harian.