Di tengah maraknya tren hidup sehat, label "tanpa pengawet" pada kemasan makanan dan minuman seringkali jadi daya tarik utama. Kita langsung mengasumsikan produk itu lebih alami, segar, dan pastinya lebih baik untuk tubuh. Namun, kenyataannya tak sesederhana itu. Label 'tanpa pengawet' tidak selalu menjadi jaminan bahwa sebuah produk secara keseluruhan lebih sehat. Di balik klaim tersebut, ada banyak hal lain yang perlu kita perhatikan, mulai dari kandungan gula, garam, hingga metode pengawetan alami yang mungkin tak kita sadari.
Pengawetan Bukanlah Musuh Utama
Pengawet sejatinya diciptakan untuk tujuan yang baik: mencegah pertumbuhan mikroorganisme berbahaya seperti bakteri dan jamur yang bisa merusak makanan dan menyebabkan penyakit. Tanpa pengawet, banyak produk makanan hanya akan bertahan dalam waktu singkat dan lebih rentan terkontaminasi. Pengawet yang diizinkan dan dalam takaran yang sesuai oleh badan pengawas seperti BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) pada dasarnya aman untuk dikonsumsi. Masalahnya muncul ketika kita menganggap semua pengawet itu buruk, padahal tidak demikian.
Banyak produsen yang menghindari pengawet sintetis dengan menggunakan metode atau bahan lain yang juga berfungsi sebagai pengawet. Contohnya, gula dan garam adalah pengawet alami yang sudah digunakan turun-temurun. Keduanya bekerja dengan menarik air dari makanan, sehingga mikroba tidak bisa tumbuh. Masalahnya, produk dengan gula atau garam yang sangat tinggi, meskipun tanpa pengawet sintetis, justru bisa lebih berbahaya bagi kesehatan dalam jangka panjang. Contohnya, selai buah tanpa pengawet sintetis mungkin punya kandungan gula yang sangat tinggi. Demikian juga dengan ikan asin yang kaya garam.