Kasus dugaan pelecehan seksual di sebuah SMP di Depok, Jawa Barat, baru-baru ini mengejutkan masyarakat. Seorang guru ekstrakurikuler di sekolah tersebut, yang berinisial SP, mengungkapkan bahwa terdapat dugaan adanya kekerasan pelecehan yang dilakukan oleh seorang guru kepada beberapa siswi. Ketegangan di dalam lingkungan sekolah ini mencuat setelah salah satu korban, siswi kelas 7 berinisial V, berani melaporkan kejadian yang dialaminya.
Pada bulan puasa 2025, V merekam percakapan antara dirinya dan guru yang diduga melakukan pelecehan. Rekaman itu berisi pembicaraan yang sangat tidak pantas dan menyinggung. Setelah mendapatkan bukti tersebut, V bersama orang tuanya melaporkan kejadian tersebut ke pihak sekolah. Namun, respons yang diterima sangat mengecewakan. Alih-alih menerima laporan dengan serius, pihak sekolah justru meragukan kesungguhan V dan meminta agar informasi tersebut tidak disebarluaskan.
Keberanian V untuk melaporkan kasus ini tampaknya memicu banyak siswi lainnya untuk berbicara. Sampai saat ini, setidaknya terdapat sepuluh korban yang mengaku mengalami perlakuan yang sama dari guru yang sama. Mereka mengungkapkan rasa takut dan cemas jika menyampaikan keluhan secara terbuka karena khawatir nilai akademis dan reputasi mereka akan terpengaruh. Situasi ini menunjukkan betapa ketidakadilan seringkali membuat korban merasa terasing, dan menakutkan untuk bersuara.