Di zaman yang katanya sudah modern dan serba maju ini, seringkali kita masih menemukan hal-hal kuno yang sayangnya masih bertahan di sekitar kita. Salah satunya adalah stereotip gender dalam dunia pendidikan. Mungkin nggak kelihatan secara langsung, tapi bibit-bibit bias gender ini masih sering muncul dan dampaknya bisa bikin kita mikir ulang, "Lah, kok masih gini aja sih?" Ini bukan cuma soal cowok nggak boleh pakai baju pink, tapi lebih jauh lagi soal bagaimana cara pandang kita terhadap potensi anak-anak berdasarkan jenis kelamin mereka.
Coba deh kita amati di lingkungan sekolah atau bahkan di rumah. Seringkali, anak laki-laki cenderung didorong untuk tertarik pada mata pelajaran sains, matematika, atau teknik. Kalau mereka jago di bidang itu, langsung deh dibilang "calon insinyur" atau "otak encer". Sementara itu, anak perempuan lebih sering diarahkan ke bidang yang berkaitan dengan bahasa, seni, atau humaniora. Kalau ada anak perempuan yang suka utak-atik mesin atau jago coding, kadang masih dianggap "aneh" atau "kok kayak cowok?". Ini adalah contoh nyata bagaimana diskriminasi itu terjadi sejak dini.
Dampaknya, anak-anak jadi merasa dibatasi. Anak laki-laki yang sebenarnya punya bakat di bidang seni atau bahasa, mungkin jadi ragu untuk mengeksplorasi minatnya karena takut dicap nggak "jantan". Begitu juga anak perempuan yang punya potensi di bidang STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika), bisa jadi mundur teratur karena merasa itu bukan "dunia perempuan" atau takut nggak ada yang mendukung. Padahal, potensi dan minat itu nggak ada hubungannya sama jenis kelamin. Setiap anak punya hak untuk memilih jalan hidupnya sendiri tanpa dibatasi oleh label-label kuno.