Fenomena cancel culture atau budaya pembatalan telah menjadi salah satu topik terhangat dalam beberapa tahun terakhir, terutama di dunia maya. Diakui atau tidak, istilah ini semakin menghangatkan diskusi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Banyak selebriti dan figur publik yang menjadi target utama dari budaya ini, yang sering kali muncul akibat pernyataan atau tindakan yang kontroversial serta dinilai tidak pantas oleh masyarakat.
Tak hanya individu, tetapi perusahaan dan merek-merek juga sering kali terlilit dalam isu ini, sering kali akibat tidak tanggap terhadap isu sosial atau kesalahan kampanye pemasaran. Sebuah pertanyaan penting pun muncul: Apa sesungguhnya cancel culture itu? Bagaimana dampaknya terhadap individu atau perusahaan yang menjadi sasarannya, dan apakah Indonesia sudah terpengaruh oleh budaya ini? Mari kita telaah lebih dalam.
Cancel culture dapat dijelaskan sebagai suatu upaya kolektif untuk mengucilkan atau "membatalkan" individu baik secara virtual di media sosial maupun di kehidupan nyata. Hal ini kerap kali diartikan sebagai boikot yang dilakukan oleh masyarakat dalam skala besar terhadap seseorangan yang dianggap berperilaku menyimpang, merugikan, atau tidak pantas. Siapa saja bisa menjadi sasaran, tetapi figur publik, selebriti, atau perusahaan merupakan yang paling rentan.
Tujuan dari boikot ini adalah memberikan sanksi sosial dengan harapan agar individu tersebut tidak lagi muncul di ruang publik atau kehilangan posisinya saat ini. Alhasil, orang-orang yang ditargetkan oleh perilaku ini sering kali merasakan penurunan popularitas yang drastis, bahkan karier yang hancur dalam waktu singkat.
Di Indonesia sendiri, fenomena cancel culture ini kian berkembang, terlebih dengan semakin banyaknya masyarakat yang aktif di media sosial. Sebut saja kasus Abidzar Al Ghifari yang menghadapi kritik tajam setelah pernyataannya yang dianggap kontroversial sebelum film "A Bussines Proposal" tayang. Tak jauh berbeda, Gus Miftah juga merasakan dampak yang sama setelah membuat pernyataan yang dianggap menghina penjual minuman. Tak hanya mereka, Dwi Citra Weni, seorang karyawan di PT. Timah, juga kehilangan pekerjaannya setelah menghina pegawai honorer.