Menariknya, kratom yang sudah diolah menjadi bentuk ekstrak berkualitas tinggi di pasar internasional bisa dijual hingga US$ 6.000 per kilogram. Ini membuktikan bahwa potensi ekonominya sangat besar jika Indonesia mampu mengelola dan mengolahnya dengan baik melalui sistem hilirisasi yang terintegrasi.
Namun, di balik gemilangnya ekspor, kratom masih menghadapi berbagai tantangan legalitas di pasar global. Di Amerika Serikat, meskipun kratom sangat populer dan bisa dibeli secara luas di minimarket, toko rokok, hingga bar, Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) AS belum sepenuhnya memberikan lampu hijau terkait status legalnya. Hal ini memicu perdebatan karena masyarakat tetap mengonsumsi kratom secara masif, dan bahkan membentuk industri dengan valuasi mencapai US$ 1 miliar.
Beberapa negara seperti Jepang dan Jerman mengizinkan penggunaan kratom dengan regulasi terbatas, sementara India memberikan kebijakan yang lebih longgar dan menjadi salah satu pasar ekspor utama Indonesia. Variasi kebijakan di setiap negara ini memerlukan perhatian serius dari pemerintah Indonesia agar kualitas dan keamanan produk kratom dapat memenuhi standar internasional yang ketat.
Di dalam negeri, dominasi ekspor kratom datang dari tiga provinsi utama: DKI Jakarta, Kalimantan Barat, dan Jawa Timur. Ketiganya menjadi tulang punggung dalam menopang ekspor kratom nasional. Namun, sayangnya, hingga saat ini status peredaran kratom di pasar domestik masih belum memiliki regulasi yang jelas.
Menteri Perdagangan menyampaikan bahwa belum ada aturan khusus yang mengatur perdagangan kratom di dalam negeri. Ini berarti meskipun kratom sudah diizinkan untuk diekspor berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 dan 21 Tahun 2024, produk ini belum bisa dijual secara bebas kepada konsumen lokal.