“Saya sekarang hanya minum matcha. Rasanya tidak membuat cemas seperti kopi dan malah membantu saya lebih fokus,” ujarnya.
Krisis Matcha: Permintaan Tinggi, Pasokan Menipis
Namun popularitas yang terus meningkat ini justru menimbulkan masalah baru. Sejak musim gugur lalu, terjadi penurunan pasokan matcha yang cukup signifikan. Bahkan beberapa produsen teh di Kyoto sudah memberlakukan pembatasan pembelian untuk konsumen.
Penyebab utamanya adalah permintaan besar dari negara-negara seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Australia, yang menyebabkan stok menjadi sangat terbatas. Ironisnya, meski pasar internasional sangat antusias, konsumsi teh hijau dan matcha di Jepang sendiri justru mengalami penurunan.
Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian Jepang, produksi matcha nasional mencapai 4.176 ton pada tahun 2023, atau hampir tiga kali lipat dibandingkan tahun 2010. Pertumbuhan ini memperlihatkan betapa besarnya potensi matcha sebagai komoditas ekspor yang menjanjikan.
Pasar Global Matcha Diprediksi Tembus USD 5 Miliar
Laju pertumbuhan permintaan matcha tak main-main. Pada tahun 2023, nilai pasar global matcha tercatat sebesar USD 2,8 miliar, dan angka tersebut diperkirakan akan melonjak hingga USD 5 miliar pada tahun 2028. Angka ini menunjukkan bahwa matcha bukan lagi sekadar tren sesaat, melainkan telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat dunia.
Jepang Bersiap Tingkatkan Produksi Matcha
Melihat potensi ekonomi yang besar, pemerintah Jepang pun mulai bersiap diri. Salah satu rencana yang sedang digodok adalah pemberian subsidi untuk petani teh, agar mereka beralih dari produksi teh daun tradisional (sencha) ke produksi tencha, yaitu daun teh yang secara khusus digunakan untuk membuat matcha bubuk.
Langkah ini dinilai strategis untuk memperkuat posisi Jepang sebagai produsen matcha nomor satu dunia. Selain itu, upaya ini juga ditujukan untuk menstabilkan harga dan menjamin keberlanjutan produksi di tengah naiknya permintaan global.