Menariknya, pada akhir April 2024, total utang pemerintah Indonesia telah mencapai jumlah mencengangkan, yaitu Rp 8.338,43 triliun. Dari total hutang itu, profil utang jatuh tempo terdiri dari utang berjangka pendek (kurang dari 1 tahun) senilai Rp 600,85 triliun, utang berjangka sedang (1-3 tahun) Rp 1.762,25 triliun, utang berjangka menengah (di atas 3-5 tahun) Rp 1.480,12 triliun, utang berjangka panjang (di atas 5-10 tahun) Rp 2.437,57 triliun, utang jangka panjang menengah (di atas 10-15 tahun) Rp 787,36 triliun, utang jangka panjang menengah-panjang (di atas 15-20 tahun) Rp 573,11 triliun, dan utang jangka panjang (di atas 20 tahun) Rp 697,17 triliun.
Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, telah menjelaskan penyebab utang jatuh tempo yang begitu besar pada periode 2025-2027. Beliau menyatakan bahwa besarnya pembayaran utang jatuh tempo periode tersebut disebabkan oleh masa pandemi COVID-19. Pada saat itu, Indonesia membutuhkan hampir Rp 1.000 triliun untuk belanja tambahan. Tambahan belanja negara ini dilakukan karena penerimaan negara turun 19% akibat ekonomi yang terhenti.
Sri Mulyani meyakini besarnya utang jatuh tempo pada 2025-2028 itu tidak akan menjadi masalah selama persepsi terhadap APBN, ekonomi, dan politik Indonesia tetap positif. Jika kondisi stabilitas ini terganggu, pemegang surat utang RI bisa melepasnya dan kabur dari RI.
Diketahui pula bahwa dalam konteks pembayaran utang jatuh tempo, negara perlu memperhatikan akar permasalahan yang mendasarinya. Percepatan pertumbuhan ekonomi, pengawasan ketat terhadap alokasi anggaran, dan optimalisasi penerimaan pajak dapat menjadi langkah-langkah preventif yang diperlukan untuk mengelola beban utang jatuh tempo yang terus meningkat. Pemerintah juga harus menerapkan kebijakan fiskal yang bijaksana serta melakukan reformasi struktural dalam berbagai sektor untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dan penerimaan yang berkelanjutan.