Lebih jauh, Amit Kalley, pendiri situs For Working Parents, menyoroti bahwa emoji kini telah berubah menjadi kode komunikasi yang sarat dengan makna tersembunyi, termasuk kadang digunakan untuk menyampaikan pesan yang tidak positif seperti ujaran kebencian. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan emoji tidak lagi sekadar ekspresi sederhana, melainkan juga alat komunikasi dengan nuansa sosial dan psikologis yang lebih rumit.
Penelitian dari Oklahoma State University mendukung pandangan tersebut. Studi ini menemukan bahwa penggunaan emoji mencerminkan kepribadian seseorang serta strategi mereka dalam membentuk kesan sosial. Orang-orang berusia di atas 30 tahun cenderung menggunakan emoji sesuai dengan arti yang umum dikenal atau “kamus” emoji yang resmi. Sementara itu, bagi Gen Z, arti emoji terus berkembang dan berevolusi menjadi simbol-simbol baru yang terkadang sulit dipahami oleh generasi sebelumnya.
Sebagai contoh, Erica Dhawan mengungkapkan melalui unggahannya di Instagram bahwa emoji seperti kuda, salju, dan bola biliar kini sering digunakan oleh remaja untuk merujuk pada narkoba. Ini menunjukkan betapa jauh dan dinamisnya evolusi arti emoji dari makna literal menjadi kode-kode sosial yang hanya dipahami oleh kelompok tertentu.
Fenomena ini menjadi tanda jelas bahwa dalam era komunikasi digital, simbol-simbol visual seperti emoji tidak bisa lagi dianggap hanya sebagai pelengkap pesan biasa. Mereka telah menjadi bagian penting dari bagaimana bahasa dan komunikasi berkembang, terutama di kalangan generasi muda yang menggunakan teknologi secara intensif.
Perbedaan interpretasi emoji ini juga menjadi tantangan tersendiri dalam komunikasi lintas generasi. Seseorang yang berusia lebih tua mungkin mengirim emoji senyum dengan niat baik, namun penerima yang berasal dari Gen Z bisa saja menafsirkannya secara berbeda, bahkan negatif. Kondisi ini bisa menimbulkan salah paham dan kesalahpahaman dalam konteks komunikasi profesional maupun sosial.