Tampang

Mengenang Kembali Peristiwa Agung pada Zaman Nabi Ibrahim AS

1 Sep 2017 11:05 wib. 2.982
0 0
Mengenang Kembali Peristiwa Agung pada Zaman Nabi Ibrahim AS

Hari ini umat Islam di seluruh penjuru dunia bersama-sama menggemakan pujian atas kebesaran Allah subhanahu wata’ala. Lebih dari 1,57 miliar kaum Muslimin di seluruh dunia mengagungkan asma Allah subhanahu wata’ala melalui takbir, tahlil, dan tahmid. Sementara itu, pada 9 Dzulhijjah kemarin, lebih dari tiga juta saudara kita kaum Muslimin dari seluruh penjuru dunia telah berkumpul untuk wukuf di Padang Arafah, menunaikan ibadah haji, rukun Islam yang kelima.

اللهُ أكْبَرُ، اللهُ أكْبَرُ، الله أكبر وَللهِ الْحَمْدُ

Ketaatan Nabi Ibrahim

Di hari ‘Idul Adha, 10 Dzulhijjah 1437 H ini, kita mengenang kembali peristiwa agung pengorbanan Nabi Ibrahim dalam menaati perintah Allah subhanahu wata’ala untuk menyembelih putranya, Ismail. Padahal bagi Nabi Ibrahim, Ismail adalah buah hati, harapan dan kecintaannya yang telah sangat lama didambakan. Namun di tengah rasa cinta itu, turunlah perintah Allah kepadanya untuk menyembelih putra kesayangannya itu. Allah berfirman:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى

“Maka tatkala anak itu telah sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu” (QS. ash-Shaffat: 102).

Terhadap perintah itu, Nabi Ibrahim mengedepankan kecintaan yang tinggi yakni kecintaan kepada Allah subhanahu wata’ala dan menyingkirkan kecintaan duniawi, yakni kecintaan kepada anak.

Perintah amat berat itu pun disambut oleh putranya, Ismail alaihissalam, dengan penuh kesabaran. Ismail-pun mengukuhkan keteguhan jiwa ayahandanya dengan mengatakan:

قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

"Wahai Ayahanda, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS. ash-Shaffat: 102)

 Ø§Ù„لهُ أكْبَرُ، اللهُ أكْبَرُ، الله أكبر وَللهِ الْحَمْدُ

Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail tersebut sudah seharusnya menjadi teladan bagi umat Islam saat ini. Tidak hanya teladan dalam pelaksanaan ibadah haji dan ibadah qurban, namun juga teladan dalam berjuang dan berkorban mewujudkan pengamalan syariah Islam secara kaffah.

Ketaatan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dalam melaksanakan syariah Islam mungkin terasa asing bahkan aneh, di tengah peradaban modern yang membanggakan dan mengidolakan kekayaan dan kemewahan duniawi. Semakin kita merasa aneh maka semakin jauh kita dari sikap mental Islami yang justru semestinya menjadi pakaian dalam kehidupan ini. Inilah ruh Islam yang seharusnya menjiwai segenap aktifitas hidup orang-orang beriman. Tidak sedikit umat Islam yang amalan agamanya hanya sebatas ritual shalat, doa dan dzikir. Sementara hatinya kosong, tidak ada ruh Islami yang menggema di dalamnya. Kurangnya keyakinan bahwa ibadah itu membawa keselamatan hidup, kurangnya keyakinan bahwa Allah itu mampu memenuhi hajat hidupnya. Maka yang nampak di tengah umat ini kegersangan hati, hidupnya tidak sakinah. Bahkan muslimin Indonesia yang jumlahnya lebih dari 200 juta inipun tidak mampu membangun kehidupan Islami yang memberikan kesejahteraan dan kenyamanan hidup yang hakiki sesuai tuntunan Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lemahnya kekuatan ruhiyah ini nampak dari sikap-sikap permisif (serba membolehkan), hedonistis (mengejar kepuasan hidup) dan materialistis (serba materi, semua amal dinilai secara materi).

Peradaban Islam sebagaimana masa Rasulullah dan Khulafaur rasyidin yang dijiwai dengan semangat ukhuwwah dan amal sholeh, kini berubah dengan semangat perpecahan dan perselisihan antar firqoh. Prestasi hidup tidak lagi diukur dengan taqwa dan amal sholih, melainkan diukur dari banyaknya harta dan titel status sosial.

Pergeseran Orientasi Hidup

Apa yang sedang terjadi di tengah umat ini adalah sebuah pergeseran orientasi hidup. Arah dan tujuan hidup semakin bergeser, secara pelan tetapi pasti, yaitu dari orientasi hidup ukhrowi ke orientasi hidup duniawi. Kecintaan yang besar terhadap dunia nampak sekali dari bobot perjuangannya yang luar biasa sepanjang hidupnya. Pola hidup zuhud dan qonaah yang diterapkan Rasulullah dan para sahabat beliau dahulu mungkin sudah dianggap hina dan tidak bergengsi. Naudzubillah min dzaalik. Allah berfirman:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)." (QS. Ali Imran 14).

<123>

0 Komentar

Belum ada komentar di artikel ini, jadilah yang pertama untuk memberikan komentar.

BERITA TERKAIT

BACA BERITA LAINNYA

POLLING

Apakah Indonesia Menuju Indonesia Emas atau Cemas? Dengan program pendidikan rakyat seperti sekarang.