Ùَلَمَّا بَلَغَ مَعَه٠السَّعْيَ قَالَ يَابÙنَيَّ Ø¥ÙنّÙÙŠ أَرَى ÙÙÙŠ الْمَنَام٠أَنّÙÙŠ أَذْبَØÙÙƒÙŽ ÙَانْظÙرْ مَاذَا تَرَى
“Maka tatkala anak itu telah sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu” (QS. ash-Shaffat: 102).
Terhadap perintah itu, Nabi Ibrahim mengedepankan kecintaan yang tinggi yakni kecintaan kepada Allah subhanahu wata’ala dan menyingkirkan kecintaan duniawi, yakni kecintaan kepada anak.
Perintah amat berat itu pun disambut oleh putranya, Ismail alaihissalam, dengan penuh kesabaran. Ismail-pun mengukuhkan keteguhan jiwa ayahandanya dengan mengatakan: