Artinya, “Tidak boleh dinikahi seorang perempuan bersama dengan bibinya (dari pihak ayah) dan begitu pula sebaliknya.” (HR. at-Tirmidzi). Ini menunjukkan bahwa hubungan keluarga dan pernikahan harus diatur sedemikian rupa untuk menghindari ketidakadilan dan perselisihan.
Perlu diketahui bahwa saudara ipar dihukumkan sebagai orang yang tidak boleh dinikahi selama masih ada ikatan perkawinan. Muhammad Utsman Al-Khasyt dalam karya Fikih Wanita: Empat Mazhab menegaskan bahwa ipar bukan termasuk golongan mahram. Ini berarti bahwa seorang suami tidak diizinkan untuk menikahi saudara iparnya selama masih terikat dengan istri sah.
Disamping itu, larangan berduaan dengan saudara ipar menjadi isu yang harus diperhatikan. Dalam Fikih Perempuan Kontemporer karya Farid Nu’man, Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa seorang laki-laki sebaiknya berhati-hati ketika mendekati wanita yang bukan mahram, termasuk ipar sendiri. Disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir RA, Rasulullah menyebutkan, “Ipar adalah maut (kematian).” (HR. Tirmidzi), yang menunjukkan betapa berbahayanya interaksi yang tidak terjaga antara pria dan wanita yang bukan mahram.
Namun, bagaimana dengan situasi di mana pernikahan dilakukan setelah perceraian atau kematian pasangan? Di Indonesia, istilah “turun ranjang” dan “naik ranjang” merujuk pada pernikahan antara individu dengan adik atau kakak iparnya setelah pasangan sahnya meninggal atau bercerai. Menurut pandangan Imam An-Nawawi dalam kitab Raudhatul Thalibin, setelah seorang suami menceraikan istrinya dengan talak ba’in (talak tiga), ia diperbolehkan untuk menikahi saudara iparnya meskipun dalam masa iddah.