Selain itu, pasal karet dalam UU ITE juga berpotensi menyasar kritik yang ditujukan kepada pemerintah. Dengan alasan menjaga ketertiban umum atau keamanan negara, banyak pihak berwenang yang memanfaatkan pasal-pasal tersebut untuk mengecam suara-suara kritik. Dalam konteks ini, UU ITE tidak hanya menjadi alat hukum, tetapi juga alat untuk membungkam berbagai aspirasi rakyat. Situasi ini menjadi semakin rumit ketika masyarakat dihadapkan pada ketidakpastian hukum, di mana setiap kali mereka berinteraksi di dunia maya, ada rasa takut bahwa pendapat mereka bisa dijadikan alasan untuk dituntut.
Kritis terhadap UU ITE juga menjalar ke dunia akademis dan media. Banyak peneliti dan aktivis yang secara terbuka menelaah dampak negatif dari penerapan UU ITE yang berkelanjutan. Mereka menekankan pentingnya revisi dan peninjauan kembali terhadap pasal-pasal yang dinilai bermasalah, termasuk pasal-pasal yang berpotensi menyebabkan kriminalisasi. Namun, diskusi ini sering kali terhambat oleh berbagai kepentingan politik dan kekuasaan yang lebih berfokus pada penegakan hukum daripada pelindungan hak asasi manusia.
Melihat semua ini, jelas bahwa UU ITE, khususnya pasal karet di dalamnya, telah menciptakan kekhawatiran terhadap kebebasan berpendapat di Indonesia. Banyak orang yang merasa tertekan dan terintimidasi, sehingga dampak terhadap partisipasi publik dalam kegiatan sosial, politik, maupun ekonomi menjadi sangat terbatas. Keadaan ini memicu pertanyaan besar tentang keberlanjutan demokrasi dan ruang gerak bagi masyarakat dalam berinteraksi di ruang publik.