Tampang.com | Perang saudara Suriah yang dimulai pada tahun 2011 telah menjadi salah satu konflik paling tragis di era modern. Dalam delapan tahun terakhir, perang ini telah merenggut ratusan ribu nyawa, dengan dampak paling mengerikan dirasakan oleh anak-anak. Di tengah gejolak dan kekacauan yang ditimbulkan oleh perang sipil ini, kekuasaan semakin dipegang oleh rezim Bashar al-Assad, meskipun harus dibayar dengan harga yang sangat mahal—nyawa tak terhitung banyaknya, termasuk anak-anak yang tak berdosa.
Konflik di Suriah dimulai dengan tuntutan rakyat untuk reformasi politik dan penghilangan pemerintahan otoriter Assad. Tuntutan tersebut berkembang menjadi aksi protes besar di berbagai wilayah, namun segera ditanggapi dengan kekerasan oleh pemerintah. Respon militer yang brutal ini semakin memicu perlawanan kelompok-kelompok oposisi. Situasi ini mengarah pada pembentukan berbagai angkatan bersenjata yang berjuang untuk menggulingkan Assad, menciptakan perang sipil yang berkepanjangan.
Di balik kegentingan situasi ini, anak-anak menjadi kelompok paling rentan. Menurut laporan dari berbagai lembaga internasional, sekitar 5,6 juta anak-anak di Suriah memerlukan bantuan kemanusiaan. Banyak dari mereka terpaksa meninggalkan rumah mereka, kehilangan orangtua, atau bahkan menjadi korban langsung dari serangan. Bombardir yang dilakukan oleh rezim Assad, sering kali menargetkan fasilitas-fasilitas umum seperti sekolah dan rumah sakit, meningkatkan jumlah korban anak-anak. Tragedi ini menambah luka mendalam bagi masyarakat Suriah, yang kini harus menghadapi trauma yang berkepanjangan.