Sri Lanka, sebuah negara kepulauan di Samudera Hindia, mengalami salah satu krisis ekonomi terparah dalam sejarahnya pada tahun 2022. Krisis ini bukan hanya merupakan hasil dari kondisi ekonomi global, tetapi juga disebabkan oleh kesalahan tata kelola yang berlarut-larut dan keputusan politik yang sangat merugikan. Banyak yang menyebut situasi ini sebagai "ekonomi runtuh," di mana sistem dan struktur yang ada tidak mampu lagi menopang kebutuhan masyarakatnya.
Sejak awal tahun 2022, Sri Lanka menghadapi berbagai tantangan besar. Inflasi melambung tinggi, kelangkaan bahan pangan dan energi terjadi di mana-mana, serta mata uang nasional, Lira Sri Lanka, mengalami depresiasi signifikan. Penyebab utama dari semua ini adalah kebijakan ekonomi yang tidak tepat dari pemerintah yang berkuasa saat itu. Misalnya, penghapusan pajak yang sangat mendukung bisnis besar, diikuti oleh keputusan untuk beralih sepenuhnya ke pertanian organik, tanpa persiapan yang memadai, semakin memperburuk keadaan.
Krisis di Sri Lanka sebenarnya telah dimulai sejak beberapa tahun lalu, namun menjadi lebih jelas dan terasa pada tahun 2022. Pendapatan dari sektor pariwisata, yang merupakan salah satu tumpuan utama ekonomi Sri Lanka, terpuruk akibat pandemi COVID-19. Selain itu, utang luar negeri yang kian menumpuk membuat pemerintah berada dalam posisi yang sulit. Keputusan untuk meminjam dari lembaga internasional dan negara-negara lain berujung pada beban utang yang tinggi, tanpa adanya rencana pelunasan yang jelas.