Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah pengaturan terkait ketenagakerjaan. Dengan adanya fleksibilitas dalam peraturan yang ada, banyak kalangan buruh dan pekerja mengkhawatirkan hilangnya hak-hak mereka. UU Cipta Kerja memberikan keleluasaan bagi perusahaan untuk merumahkan atau mempekerjakan karyawan tanpa ikatan yang jelas, yang dapat menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap pekerja. Di sisi lain, sektor usaha kecil dan menengah (UKM) yang memiliki daya tawar lebih rendah bisa terancam akibat kebijakan yang menguntungkan korporasi besar.
Pemerintah berpendapat bahwa UU Cipta Kerja adalah langkah strategis untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif. Namun, kritik terhadap implementasi undang-undang ini menunjukkan betapa sulitnya menyeimbangkan antara menarik investor dan melindungi hak-hak masyarakat. Dengan banyaknya klaster yang diatur dalam omnibus law ini, sering kali terkesan bahwa kepentingan investor dan perusahaan besar lebih diutamakan dibandingkan kepentingan rakyat biasa.
Sedangkan dalam konteks transparansi dan akuntabilitas, UU Cipta Kerja juga menghadirkan tantangan. Proses pembahasan yang dilakukan secara cepat dan minim partisipasi publik membuat banyak elemen masyarakat merasa terpinggirkan. Tindakan ini mencerminkan kepentingan elite yang ingin mengontrol dan mengatur sesuai dengan kebutuhan mereka, di mana suara rakyat sering kali terabaikan. Hal ini menambah kesan bahwa UU Cipta Kerja bukan hanya merupakan alat untuk meningkatkan perekonomian, tetapi lebih sebagai sarana untuk memperkuat dominasi oligarki.