Utang negara merupakan salah satu isu yang krusial dalam perekonomian suatu negara. Di Indonesia, utang luar negeri kerap menjadi sorotan, terutama ketika anggaran negara menunjukkan defisit. Sebagai warga negara, memahami bagaimana utang ini mempengaruhi legitimasi kekuasaan pemerintah adalah hal yang penting.
Defisit anggaran negara terjadi ketika pengeluaran pemerintah melebihi pendapatan yang diperoleh. Dalam situasi ini, pemerintah sering kali mengandalkan utang luar negeri untuk menutupi kekurangan tersebut. Utang luar negeri dapat berasal dari berbagai sumber, termasuk lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF, atau negara lain yang bersedia memberikan pinjaman. Meskipun utang luar negeri terlihat sebagai solusi jangka pendek untuk mengatasi defisit, pernyataan ini menimbulkan beberapa pertanyaan: Siapa yang akhirnya menanggung utang ini? Dan bagaimana utang ini memengaruhi legitimasi kekuasaan pemerintah?
Pemerintah yang mengajukan utang luar negeri sering kali berargumen bahwa utang tersebut digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan program-program sosial yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, benarkah demikian? Sering kali, utang luar negeri menjadi beban generasi mendatang, yang harus menanggung bunga dan cicilan utang tersebut. Hal ini menciptakan situasi di mana rakyat tidak hanya membayar pajak, tetapi juga harus berkontribusi pada pembiayaan utang yang diambil pemerintah.