Di saat kerusuhan tersebut, laporan tentang pemerkosaan terhadap wanita-wanita Tionghoa menjadi sangat mencolok. Banyak saksi melaporkan tindakan biologis yang keji dan tidak manusiawi. Pemerkosaan ini tidak hanya ditujukan sebagai tindakan kriminal, tetapi juga sebagai cara untuk menghancurkan mentalitas suatu komunitas. Tindakan ini menunjukkan bahwa politik rasial menjadi alat untuk memperkuat dominasi dan menciptakan ketakutan di kalangan kelompok minoritas. Hal ini juga menegaskan bahwa di dalam momen-momen krisis, manusia dapat kehilangan kemanusiaannya.
Tak hanya mempengaruhi komunitas Tionghoa, kerusuhan Mei 98 juga menyebar ke berbagai daerah di Indonesia. Masyarakat merasa terbelah dalam identitasnya, merasakan beban dari sentimen yang berakar dalam sejarah panjang diskriminasi dan stereotip. Interaksi sosial yang diwarnai dengan ras, kelas sosial, dan ekonomi membuat ketegangan semakin meningkat. Pemerintah pun tampaknya tidak siap untuk menangani kerusuhan ini, dengan tindakan repressif yang ternyata tidak menghentikan kekerasan.
Setelah kerusuhan berakhir dan Soeharto mundur dari kursi kepresidenan, masyarakat mulai melakukan introspeksi tentang apa yang sebenarnya terjadi. Diskusi tentang etnis, ras, dan keadilan sosial menemukan momentum baru. Namun, trauma yang ditinggalkan oleh Tragedi Mei 1998 masih diingat sebagai peringatan bahwa kebencian rasial dapat memicu bencana yang tak terbayangkan. Keterbatasan tinjauan terhadap ras dalam konteks politik dan sosial menjadikan kajian ini penting untuk pemahaman masyarakat tentang hubungan antar etnis di Indonesia yang kaya akan keragaman.