Dalam laporan BPK dan sejumlah kajian akademik, ditemukan bahwa beberapa kapal tol laut bahkan beroperasi tanpa muatan karena tidak ada sistem distribusi terintegrasi antara pusat logistik dan pasar lokal. Pemerintah daerah pun banyak yang tidak siap. Tidak semua pelabuhan tujuan memiliki infrastruktur penunjang seperti gudang, jalan penghubung, atau tenaga bongkar muat yang memadai.
Akhirnya, tol laut justru menjadi proyek yang boros subsidi, tetapi minim manfaat ekonomi jangka panjang. Harga barang di Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara tetap tinggi. Sementara BUMN pengelola kapal dan pelabuhan mengeluh soal efisiensi dan pembengkakan biaya operasi.
Pertanyaan yang menggantung: di mana letak gagalnya program ini? Jawabannya ada di antara manajemen logistik yang parsial, ego sektoral kementerian, hingga pendekatan pembangunan yang terlalu Jakarta-sentris. Indonesia adalah negara kepulauan, bukan negara dengan satu pusat yang mengalirkan segalanya ke daerah. Jika poros maritim hanya berarti menambah kapal dan pelabuhan tanpa mengembangkan ekosistem ekonomi lokal, maka itu bukan strategi, tapi mimpi di atas air.