Ketika Presiden Joko Widodo mencanangkan visi besar menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, banyak pihak menyambutnya dengan tepuk tangan dan harapan. Visi ini tak hanya menggugah romantisme sejarah Nusantara sebagai bangsa pelaut, tetapi juga membuka optimisme akan pemerataan ekonomi antar-pulau melalui program Tol Laut.
Namun, lebih dari satu dekade setelah jargon itu berkumandang, publik harus menelan kenyataan pahit: tol laut nyaris seperti jalan bebas hambatan yang hanya indah di peta, tapi penuh lubang di dunia nyata.
Secara konsep, Tol Laut adalah sistem transportasi laut reguler dan terjadwal yang menghubungkan wilayah barat dan timur Indonesia, terutama kawasan tertinggal, terdepan, dan terluar. Harapannya, disparitas harga barang bisa ditekan, pasokan logistik lebih lancar, dan integrasi ekonomi nasional makin kuat.
Namun fakta di lapangan justru berkebalikan. Banyak kapal logistik yang berangkat penuh dari pelabuhan barat (seperti Tanjung Priok) namun pulang dalam keadaan kosong dari timur. Artinya, arus barang hanya satu arah. Wilayah timur masih miskin produksi, pelabuhan minim fasilitas bongkar muat, bahkan konektivitas antar-pulau kecil pun sangat terbatas.