Atas dasar adanya ketidakadilan dan kekonyolan serta ketidaklogisan PT dalam RUU produk pemerintah Jokowi tersebut, maka sudah berang tentu MK akan mengabulkan uji materi yang diajukan pemohon.
Dan biasanya keputusan MK sejalan dengan pikiran waras. Seperti yang saya tulis di http://www.kompasiana.com/gatotswandito/curhat-saya-di-kompasiana-dikabulkan-mk_552e47916ea834dd398b4570. Jadi sudah bisa dipastikan MK akan mencoret aturan PT yang digagas pemerintah Jokowi.
Dengan dibatalkannya aturan PT ala Jokowi, maka capres-cawapres bisa berjumlah sama dengan jumlah parpol peserta pemilu. Kalau pemilu diikuti 10 parpol, maka jumlah maksimal pasangan kandidat adalah 10.
Jumlah maksimal pasangan kandidat tersebut sebagai logika dari aturan yang menyebut hanya parpol yang berhak mengajukan pasangan capres-cawapres.
Dengan tidak adanya PT dan pemilu yang digelar secara serentak, mau tidak mau setiap parpol harus mengajukan jagoannya dalam pilpres.
Sebab, akan terlihat sangat janggal jika pada saat kampanye Nurul Arifin dari Golkar mengampanyekan pencalegan dirinya dan kemenangan partainya sekaligus (di saat yang bersamaan) menyerukan untuk memilih Jokowi yang notabane kader PDIP.
Itulah keuntungan yang didapat PDIP jika PT dipraktekan dalam Pilpres 2019. Sebab, semua parpol pendukung Jokowi, mau tidak mau akan memberi konstribusi atas raihan suara PDIP. Sebaliknya, parpol-parpol pendukung juga tidak akan menyerang PDIP.
Masalahnya, tidak semua parpol peserta pemilu 2019 memiliki kader yang layak tanding. Bahkan, Golkar sebagai parpol besar dengan pengalaman panjang serta jejaring yang menggurita pun tidak memiliki kader yang pantas untuk diajukan.
Persoalan parpol tidak hanya berhenti sampai tidak adanya kader yang layak dicapreskan, tetapi juga pada nyaris tidak adanya figur non-partai yang pantas untuk diterjunkan.
Nyaris tidak ada bukan berarti tidak ada sama sekali. Karenanya, bagi anak bangsa yang merasa pantas untuk memimpin bangsa dan negara ini, bersiaplah menerima elit-elit parpol yang datang untuk meminangnya.