Jakarta, Tampang.com – Di atas papan catur, raja adalah simbol tertinggi, namun ia tak bisa bergerak jauh. Ia lamban, rentan, dan seringkali hanya diselamatkan oleh pion, kuda, atau benteng. Di sinilah kita menyadari bahwa kuasa tertinggi tidak selalu berarti paling berdaya. Ia dikelilingi strategi, diatur oleh perhitungan. Ia bukan Tuhan, melainkan bagian dari permainan yang lebih besar—dan sering kali lebih gelap. Politik, seperti catur, adalah medan di mana kemenangan bukan soal keadilan, tapi soal langkah. Siapa cepat membaca lawan, siapa lihai menyiapkan jebakan, siapa berani mengorbankan bidak demi menyelamatkan pusat kekuasaan. Selebihnya adalah keheningan: seperti dalam catur, politik juga penuh diam. Namun diam itu bukan kosong, melainkan penuh siasat. Tidak semua langkah dalam politik berarti maju. Ada yang mundur untuk menjebak. Ada yang diam agar tak terbaca. Ada juga yang menyimpang ke kiri agar serangan dari kanan meleset. Seorang pion tak perlu tahu seluruh rencana, cukup melangkah sesuai garisnya. Para pemainlah yang menyusun segalanya—kadang jauh sebelum permainan dimulai.
Demokrasi hari ini tidak jarang menjelma seperti papan catur raksasa: rakyat jadi pion, partai jadi benteng, dan media—media bisa jadi menteri, bisa juga jadi pelayan. Kita tak selalu tahu siapa lawan, siapa kawan, sebab langkah tak selalu lurus. Dalam politik, musuh bisa sekutu besok pagi, dan sahabat bisa ditukar demi skenario sore nanti. Kita terjebak dalam permainan di mana siapa pun yang masuk ke medan itu harus siap dikorbankan atau mengorbankan. Bahkan idealisme, dalam papan catur politik, sering hanya jadi bidak pembuka.
Strategi dalam Permainan Politik Seperti halnya permainan catur, politik juga punya pembukaan. Di sinilah janji-janji disusun, baliho ditegakkan, pertemuan dilakukan diam-diam. Tak ada yang sungguh-sungguh jujur. Karena kunci permainan ada pada penyamaran: menyamar sebagai rakyat, sebagai pejuang, sebagai penyelamat.