Ada kesunyian dalam politik yang sering tidak dibicarakan: sunyi para pemilih setelah pemilu usai. Ketika baliho diturunkan dan janji dilupakan. Ketika rakyat kembali ke pasar dan para pemenang kembali ke meja makan elite. Sunyi itu menyakitkan, karena ia adalah sunyi dari pengkhianatan. Dan seperti dalam catur, setelah permainan selesai, pion-pion dikembalikan ke dalam kotak. Tidak diberi penghargaan, tidak dibela, hanya dibungkam dalam rutinitas lima tahunan.
Kita hidup dalam demokrasi yang penuh drama, tapi miskin kejujuran. Di televisi kita lihat saling peluk, di lapangan kita lihat saling tikam. Papan catur ini sudah terlampau besar, hingga para pemainnya lupa: yang mereka pertaruhkan bukan sekadar jabatan, tapi nasib rakyat. Politik adalah permainan paling tua dalam sejarah manusia. Tapi bukan karena ia harus dimainkan seperti catur. Bukan karena ia harus menang dengan siasat. Politik seharusnya adalah seni merawat hidup bersama. Namun, ketika ia dibajak oleh ambisi, oleh strategi, oleh langkah-langkah penuh tipu, maka ia kehilangan maknanya. Mungkin sudah saatnya kita tanya: benarkah kita sedang bermain untuk menang, atau justru sedang dikalahkan oleh permainan itu sendiri? Karena dalam catur, semua berakhir di kotak yang sama. Dalam politik, terlalu banyak yang dilupakan, terlalu banyak yang dikorbankan—tanpa pernah kembali. Dan barangkali, langkah paling revolusioner bukanlah maju atau mundur, tapi berhenti ikut permainan yang lupa pada kemanusiaan.