Genosida Kamboja merupakan salah satu tragedi kemanusiaan terburuk di abad ke-20. Antara tahun 1975 dan 1979, rezim Khmer Merah yang dipimpin oleh Pol Pot melancarkan sebuah kampanye brutal yang mengakibatkan kematian sekitar dua juta orang, atau hampir seperempat dari populasi Kamboja pada saat itu. Alasan di balik tindakan keji ini adalah untuk menciptakan masyarakat agraris yang utopis dan membuang semua unsur kapitalis serta pengaruh asing yang dianggap merusak.
Pol Pot, seorang pemimpin yang keyakinan ideologisnya terinspirasi oleh ideologi komunis dan Maoisme, mengambil alih kekuasaan di Kamboja setelah mengalahkan pemerintah yang didukung oleh Amerika Serikat. Dengan slogan "Kembali ke Alam", Pol Pot dan rezim Khmer Merah bertekad untuk menghapus semua yang dianggap sebagai warisan dari era sebelumnya, termasuk pendidikan, agama, dan urbanisasi. Mereka menerapkan kebijakan sosial ekstrem, termasuk pengungsian massal dari kota-kota ke desa-desa.
Salah satu karakteristik paling mencolok dari pemerintahan Khmer Merah adalah ketidakpedulian mereka terhadap hak asasi manusia. Dengan tangan besi, mereka menjalankan kebijakan yang kejam. Setiap individu yang dicurigai tidak setia, termasuk intelektual, dokter, akademisi, dan bahkan mereka yang mampu berbicara dalam bahasa asing, dianggap sebagai ancaman. Penangkapan massal dan penyiksaan menjadi hal yang umum. Para tahanan seringkali diinterogasi dengan kekerasan sebelum dieksekusi di tempat-tempat yang dikenal sebagai "ladang pembantaian".