Setelah runtuhnya Orba pada tahun 1998, bangkitlah tuntutan reformasi yang mengubah wajah politik Indonesia menuju demokrasi. Namun, seiring berjalannya waktu, praktik KKN kembali muncul dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan politik Indonesia. Banyak pihak yang menyebut fenomena ini sebagai Orba 2.0, karena terlihat adanya kembalinya praktik-praktik otoriter dan penyalahgunaan kekuasaan sebagaimana yang pernah terjadi di masa Orba.
Orba 2.0 tercermin dalam berbagai kasus korupsi yang melibatkan pejabat pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Menjadi rahasia umum bahwa praktik suap-menyuap, pemerasan, dan pencucian uang telah merajalela di berbagai lini pemerintahan. Selain itu, kolusi antara pejabat pemerintah dan pengusaha juga semakin marak terjadi, memberi gambaran bahwa kepentingan kelompok tertentu lebih diutamakan daripada kesejahteraan masyarakat secara umum. Fenomena ini semakin memperparah kondisi ekonomi dan menimbulkan ketimpangan yang semakin melebar di Indonesia.
Tak hanya itu, nepotisme juga kembali menjadi perbincangan hangat dalam demokrasi Indonesia. Banyaknya penunjukan pejabat pemerintahan berdasarkan hubungan kekerabatan atau kedekatan politik, tanpa mempertimbangkan kualifikasi dan kompetensi yang seharusnya menjadi pertimbangan utama, menjadi bukti jelas dari kembalinya praktik nepotisme dalam pemerintahan saat ini. Hal ini tentu saja merugikan negara dalam jangka panjang, karena menempatkan individu yang tidak berkualifikasi dalam posisi strategis pemerintahan hanya akan menghambat proses pembangunan dan reformasi yang sebenarnya diperlukan.