Saat ahok kalah di Pilkada DKI dengan kekalahan telak sampai dua digit presentasi perolehan suara, muncul kasus ribuan karangan bunga di balai kota jakarta dari para pendukung ahok. Mereka memberikan dukungan moril atas kekalahan ahok, padahal kalau kita pikir buat apa dukungan moril, toh kalah menang dalam Pilkada sudah menjadi hal yang biasa ? Kalau dicermati mungkin karangan-karangan tersebut tidak hanya memberikan dukungan moral tetapi untuk memberikan kesan simpati terhadap Ahok karena kasus penodaan agamanya masih bergulir. Pendukung ahok seolah ingin menunjukkan kalau ahok masih banyak dicintai rakyat dan tidak pantas untuk dijatuhi hukuman.
Saat hakim pengadilan tinggi Jakarta Utara menjatuhkan vonis 2 tahun penjara terhadap ahok, lebih berat dari tuntutan jaksa yang hanya menuntut ahok dengan 1 tahun penjara masa percobaan 2 tahun, lagi-lagi pendukung ahok melakukan gerakan demo bahkan sampai tengah malam, bahkan sampai hari libur waisyak yang harusnya menghormati perayaan umat Budha, bahkan sampai merembet di kota-kota lainnya yang melakukan aksi yang sama, bahkan sampai dunia internasional ikut bersuara kalau ayat tentang penodaan agama harus dikaji ulang, aksi retas yang dilakukan pendukung ahok di pengadilan negeri sampai kepolisian Riau seolah-olah ingin menunjukkan kalau ahok tidak bersalah dan tidak pantas dijatuhi hukuman.
Sebetulnya kalau mau dicermati, semua aksi yang berlangsung semata-mata hanya ingin membesarkan nama ahok yang dianggap sebagai Pahlawan Bhineka Tunggal Ika, padahal kalau masyarakat menyadari dari seorang ahoklah masyarakat menjadi tercerai berai, saling maki, saling hujat dan saling saling lainnya.