Salah satu dampak signifikan dari kudeta ini adalah pelarangan terhadap kegiatan politik dan partai-partai yang dianggap menentang junta. Kebebasan pers menjadi tertekan, dengan pembatasan yang ketat terhadap media. Setiap suara yang beroposisi terhadap junta militer bisa berakhir dengan penangkapan dan penahanan. Penggunaan kekerasan terhadap demonstran juga sering terjadi, menunjukkan betapa represifnya rezim ini dalam mempertahankan kekuasaannya.
Masyarakat Thailand merindukan kembali demokrasi yang telah dihentikan. Pemilihan umum baru diadakan pada tahun 2019, namun banyak yang berpendapat bahwa pemilu tersebut tidak benar-benar demokratis. Para pemilih masih berada di bawah kendali junta dan konstitusi yang diterapkan dianggap menguntungkan pihak militer. Hal ini menciptakan ketidakpastian bagi masa depan politik Thailand dan memicu skeptisisme di kalangan rakyat.
Kudeta Thailand 2014 dan berbagai aksi selanjutnya menunjukkan bahwa meskipun masyarakat mendambakan demokrasi, kekuatan militer sering kali muncul sebagai pemenang dalam konflik politik. Rakyat Thailand yang ingin berpartisipasi dalam proses demokrasi merasa terpinggirkan, sementara junta militer terus memperkuat cengkeramannya terhadap kekuasaan. Ketika rakyat menjadi penonton tak berdaya terhadap permainan politik elit, harapan akan perubahan yang lebih baik semakin menjauh.