Tampang.com | Krisis Hong Kong yang berkepanjangan telah menjadi salah satu isu paling mencolok dalam sejarah dunia modern, mencerminkan ketegangan antara harapan akan demokrasi dan kontrol ketat Tiongkok. Gerakan Payung yang muncul pada tahun 2014 merupakan simbol perlawanan rakyat Hong Kong terhadap intervensi Beijing dalam sistem pemerintahan daerah tersebut. Protes yang awalnya berfokus pada permintaan pemilihan umum yang lebih bebas dan terbuka, segera berubah menjadi gerakan yang lebih luas, menandakan bahwa masyarakat Hong Kong tidak sekadar menginginkan kebebasan politik, tetapi juga identitas dan hak asasi manusia yang dijamin.
Sejak tahun 2014, protes di Hong Kong telah dipicu oleh berbagai kebijakan dan tindakan pemerintah Tiongkok yang dianggap merugikan kebebasan dan otonomi wilayah tersebut. Setelah Gerakan Payung, Hong Kong terus mengalami gelombang protes yang lebih besar lagi pada tahun 2019, saat legislasi yang kontroversial mengancam untuk mencabut perlindungan bagi para pembangkang dan memungkinkan ekstradisi warga Hong Kong ke Tiongkok. Ratusan ribu orang turun ke jalan untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka, menuntut penarikan legislasi tersebut dan reformasi politik yang lebih menyeluruh.
Protes yang berlangsung selama beberapa bulan ini berujung pada kekerasan yang meluas. Polisi secara agresif membubarkan demonstrasi, menggunakan kekuatan yang dianggap berlebihan dalam beberapa kasus. Di sisi lain, para demonstran tidak hanya mengandalkan gerakan damai, mereka juga mulai menggunakan taktik yang lebih konfrontatif untuk menanggapi tindakan keras yang dikeluarkan oleh pemerintah. Gambar-gambar menyeramkan dari bentrokan antara demonstran dan aparat keamanan di jalanan Hong Kong menjadi simbol perjuangan dalam menghadapi rezim yang dianggap otoriter.