Tampang

KH. Ma'ruf Amin: Jangan Sampai Gara-Gara Pancasila, Indonesia Jadi Negara Sekuler

8 Jun 2017 15:36 wib. 10.595
0 0
pancasila

MENCEGAH UPAYA SEKULARISASI PANCASILA

Oleh: K.H Ma'ruf Amin

Maklumat ke-Indonesia-an yang digagas oleh sejumlah orang dalam simposium nasional di Fisip UI yang lalu, dengan tema Restorasi Pancasila, sebelum Peringatan Hari Lahirnya Pancasila, dan dibacakan oleh Todung Mulya Lubis dalam Peringatan Hari Lahirnya Pancasila menarik untuk dicermati. Inti dari maklumat tersebut adalah penegasan, bahwa Pancasila bukanlah agama, dan tidak boleh ada satu agama pun yang berhak memonopoli kehidupan yang dibangun berdasarkan Pancasila. Di sisi lain, maklumat tersebut juga menegaskan keluhuran Sosialisme, dan keberhasilan material yang diraih oleh Kapitalisme.

Kita memang tidak tahu ada apa di balik penegasan ini. Di satu sisi, Pancasila dinyatakan bukan agama, dan agama juga tidak boleh mendominasi kehidupan yang dibangun berdasarkan Pancasila, sementara Sosialisme —yang dibangun berdasarkan ideologi Materialisme, dan anti agama, dan karenanya bertentangan dengan nilai Pancasila— justru diagungkan. Demikian juga dengan Kapitalisme —yang dibangun berdasarkan Sekularisme, dan setengah anti agama, karena tidak menolak, tetapi juga tidak sepenuhnya menerima agama, dan nyata-nyata melahirkan ketidakadilan global, yang justru bertentangan dengan nilai Pancasila— malah dipuja-puja. Maka, dengan membaca sekilas inti maklumat tersebut, kita dengan mudah bisa membaca adanya sejumlah inkonsistensi dan keganjilan di dalamnya.

Vision of State

Pancasila memang bukan agama, karena ia merupakan kumpulan value (nilai) dan vision (visi). Tepatnya, lima nilai dan visi yang hendak diraih dan diwujudkan oleh bangsa Indonesia ketika berihtiar mendirikan sebuah negara. Meski demikian, bukan berarti Pancasila itu anti agama, atau agama harus disingkirkan dari rahim Pancasila. Karena keberadaan agama itu diakui dan dilindungi, serta dijamin eksistensinya oleh Pancasila. Masing-masing agama juga berhak hidup, dan pemeluknya pun bebas menjalankan syariat agamanya. Tentu tidak terkecuali dengan Islam dan umatnya. Sebab, dengan value dan visi ketuhanannya, justru arah negara Indonesia kelak bukanlah negara sekular, juga bukan negara Sosialis-Komunis, maupun Kapitalis-Liberal. Tetapi, sebuah negara yang dibangun berdasarkan nilai dan visi Ketuhanan yang Maha Esa.

Justru karena itulah, maka sangat ganjil dan aneh, jika agama —khususnya Islam— yang ada di dalamnya hendak disingkirkan, dan dibuang jauh-jauh dari kehidupan, dengan logika tidak boleh ada satu agama (kebenaran) yang mendominasi. Di sisi lain, hak umat Islam untuk menjalankan syariat agamanya selalu saja dibenturkan dengan Pancasila dan UUD 1945, padahal kewajiban menjalankan syariat Islam tetap dijamin oleh sistem hukum di negeri ini. Karena itu, kemudian maklumat atau logika-logika seperti ini, tidak lebih hanyalah tafsiran yang juga nisbi, bahkan maaf sangat absurd, yang pada akhirnya selalu dipaksakan oleh segelintir orang kepada mayoritas rakyat di negeri ini, dengan menggunakan kekuatan sebuah rezim. Memang aneh, di sisi lain, tafsir orang lain atas kebenaran tidak boleh dipaksakan, tetapi mereka sendiri memaksakan tafsirannya atas kebenaran dan bahkan memonopoli tafsiran itu untuk dipaksakan kepada orang lain. Inilah bentuk inkonsistensi cara berfikir. Tetapi, bagi mereka justru ini merupakan bentuk konsistensi, tepatnya konsisten menolak Islam. Meski cara berfikir mereka sendiri inkonsisten.

Justru karena itulah, maka hubungan antara agama, khususnya Islam, dengan negara tidak pernah solid. Ketidaksolidan ini justru terjadi karena adanya pihak yang terus-menerus berupaya membenturkan antara agama dan negara.

Padahal, ketika bangsa yang mayoritas Muslim ini berhasil menyelenggarakan pemilu, orang-orang itu berteriak dengan lantang, bahwa demokrasi kompatibel dengan Islam. Tapi, giliran umat Islam menuntut syariatnya diterapkan, segera saja mereka menolak dengan menggunakan tafsir kebenaran mereka sendiri, yang maaf sudah klise; bertentangan dengan Pancasila-lah, bertentangan UUD 1945, mengancam keutuhan bangsa, dan tafsir-tafsir teror yang lainnya.

<123>

0 Komentar

Belum ada komentar di artikel ini, jadilah yang pertama untuk memberikan komentar.

BERITA TERKAIT

BACA BERITA LAINNYA

POLLING

Apakah Indonesia Menuju Indonesia Emas atau Cemas? Dengan program pendidikan rakyat seperti sekarang.