Islam telah tumbuh dan berkembang di Indonesia lebih dari 500 tahun.
Islam dianut mayoritas, sekitar 87 persen.
Hukum Islam hidup di masyarakat Indonesia lebih dari 500 tahun, sehingga hukum Islam sudah menjadi law of life (hukum yang hidup). Wajar kalau syariah Islam menjadi sumber hukum peraturan perundangan di Indonesia. Aneh kalau ada yang menentangnya.
Di samping itu, secara substansi, ajaran Islam adalah ajaran yang universal, rahmatan lil ‘alamin, bukan hanyarahmatan lil Muslimin. Kalimat rahmatan lil ‘alaminselalu diucapkan oleh semua pihak, termasuk kalangan pejabat, mulai dari presiden hingga kepala desa. Bila semua warga negara tanpa pandang bulu mendapatkan rahmat dari penerapan hukum tersebut, maka harmonisasi pasti tercipta. Adopsi hukum syariah pasti menjamin rahmat bagi semua? Sebab hukum syariah dan ajaran Islam sangat jelas bersumber dari Alquran dan Hadits Nabi SAW yang merupakan wahyu Allah SWT Dzat yang Maha Pengasih dan Penyayang, Dzat Yang Maha luas rahmat-Nya.
Mewujudkan cita-cita
Kalau syariat Islam diterapkan, bukan hanya kesatuan dan persatuan Indonesia, tetapi kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan sosial bagi seluruh rakyat, serta hikmah dan kebijaksanaan dalam permusyaratan atau perwakilan juga diterapkan. Dalam Islam, umat lain mendapatkan perlindungan penuh dari negara. Juga jaminan kebutuhan hidup yang sama, baik sandang, papan, dan pangan, serta kesehatan, pendidikan, dan keamanan.
Nabi SAW pernah mengatakan, "Man adza dzamiiyan faqad adzani (Siapa saja yang menganiaya ahli dzimmah, maka sama dengan menganiaya diriku).” Ketika rumah seorang Yahudi hendak digusur oleh Amr bin al-Ash untuk pembangunan masjid, yang berarti menasionalisasi hak milik pribadi, Umar bin Khatab marah dan meminta gubenurnya mengembalikan hak milik pribadi Yahudi tersebut.
Juga kisah Ali bin Abi Thalib, yang bersengketa dengan orang Yahudi soal baju besi. Kasus itu dimenangkan oleh orang Yahudi, yang notabene rakyat jelata. Inilah jaminan yang diberikan Islam, lebih baik dibanding konsep keadilan sosial yang diadopsi dari sosialisme dan kapitalisme.
Demikian halnya dengan hikmah dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan. Islam memberikan ruang yang cukup dan proporsional kepada publik untuk menyampaikan pandangannya. Inilah yang dikenal dengan syura wa akhdz ar-ra’y (permusyawaratan dan pengambilan pendapat). Ada wilayah di mana pendapat tersebut harus diambil dari syariat, ada yang diambil dari pendapat mayoritas, dan ada juga yang diambil berdasarkan pandangan ahli/pakar, atau yang paling benar. Masing-masing didudukkan secara proporsional. Dengan demikian, kebebasan berpendapat tidak akan keluar dari pakemnya. Islam bukan memberangus kebebasan berpendapat, tapi mengarahkan dan membimbingnya.
Dalam Islam, ada Majelis Ummah dan ada juga partai politik yang berfungsi mengontrol pemerintah. Bahkan, kalau pemerintah menyimpang dari haluan negara, ada Mahkamah Madzalim yang bisa memberhentikannya. Lalu, mengapa kita masih mempersoalkan kontribusi Islam? Apakah kita tidak pernah memahami keagungan ajaran Islam? Ataukah kita memang selalu menutup mata, atau mungkin berniat tidak baik terhadap Islam?