Cara berfikir seperti ini tentu sangat picik, dan tidak jujur. Picik, karena selalu menggunakan Pancasila dan konstitusi sebagai pelarian. Tidak jujur, karena orang-orang itu tidak mau menerima kenyataan, bahwa demokrasi yang mereka agung-agungkan itu sendiri mengajarkan vox populi vox dei (suara rakyat suara tuhan). Artinya, jika rakyat yang mayoritas itu menginginkan kehidupan mereka diatur oleh syariat, mengapa mereka harus menolak? Inilah logika demokrasi yang sehat. Kalau kepicikan dan ketidakjujuran ini terus dipraktikkan, maka kalangan Muslim yang masih menerima demokrasi pun pada akhirnya akan muak dengan demokrasi, apalagi kalangan Muslim yang jelas-jelas menolak sama sekali. Pada akhirnya, umat Islam akan membuktikan sendiri, bahwa demokrasi itu hanyalah jargon kaum Kapitalis-Sekular, untuk mempertahankan kepentingan mereka.
Sekularisasi Pancasila
Pengamat Politik LIPI, Dr. Mochtar Pabottinggi, juga mengatakan bahwa Pancasila bukanlah ideologi negara, melainkan vision of state (visi negara), yang mendahului berdirinya Republik Indonesia. Visi itu kemudian dituangkan dalam UUD 1945, pasal 29, yang menyatakan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, dengan visi itu para pendiri negara ini justru ingin menegaskan, bahwa negara yang dibangunnya itu bukanlah negara sekular.
Karena itu, tidak ada satu pun pasal dalam UUD 1945 yang menolak agama untuk dijadikan sebagai sumber hukum. Bahkan, banyak pakar hukum Indonesia yang memberikan penegasan, bahwa Islam merupakan salah satu sumber hukum nasional. Maka, penegasan bahwa Pancasila bukanlah agama, dan agama tidak boleh memonopoli kebenaran, jelas merupakan upaya untuk menistakan agama, dan memisahkan Pancasila dari agama. Sebagai open idea (ide terbuka) atau open value (nilai terbuka), sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden SBY, seharusnya kontribusi agama, sebut saja Islam, dalam membimbing visi yang dicita-citakan itu tidak boleh dibendung. Apalagi dengan membenturkan keduanya. Justru inilah yang harus segera diakhiri. Karena agama adalah keyakinan, sementara Pancasila yang nota bene bukan agama tidak akan bisa menggeser posisi agama.
Nah, masalahnya kemudian adalah, apakah kontribusi agama, tepatnya penerapan syariat Islam akan mengancam keharmonisan? Mari kita jujur melihat fakta.
Pertama, selain Islam, agama-agama lain tidak memiliki syariat yang mengatur urusan ekonomi, politik, pendidikan, sanksi hukum, politik luar negeri. Agama-agama itu hanya mengatur urusan ibadat, cara berpakaian, makan, minum, kawin dan cerai.
Kedua, bagi Islam, urusan ibadat, cara berpakaian, makan, minum, kawin dan cerai para pemeluk agama lain diserahkan kepada agama mereka masing-masing. Islam justru memberikan kebebasan mereka untuk menjalankan syariat agamanya, pada wilayah yang memang menjadi wilayah agama mereka. Di sisi lain, mereka juga tidak dipaksa untuk menjalankan syariat agama lain, yang diatur oleh syariat agama mereka.
Ketiga, bagi non-Islam, Islam hanya mengatur urusan ekonomi, politik, pendidikan, sanksi hukum dan politik luar negeri, yang nota bene tidak diatur oleh syariat mereka. Sementara bagi kaum Muslim, Islam mengatur semua aspek kehidupan mereka, mulai dari urusan ibadat, cara berpakaian, makan, minum, kawin dan cerai, sampai urusan ekonomi, politik, pendidikan, sanksi hukum dan politik luar negeri.
Dengan demikian, secara normatif tidak akan pernah terjadi benturan atau disharmoni dalam hubungan antara Muslim dan non-Muslim. Secara historis, kondisi itu telah dibuktikan oleh sejarah Islam sepanjang 800 tahun, ketika Spanyol hidup dalam naungan Islam. Tiga agama besar yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi bisa hidup berdampingan. Masing-masing pemeluknya bebas menjalankan syariat agamanya, dijamin oleh negara. Inilah yang diabadikan oleh Mc I Dimon, sejarawan Barat, dalam Spain in the Three Religion. Untuk kasus Indonesia, kita tidak mungkin menyingkirkan fakta bahwa: