Momentum itu berawal dari kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Sebenarnya kasus ini tidak beda dengan kasus-kasus penistaan agama sebelumnya. Persoalannya, Ahok berbeda dengan pelaku penista agama lainnya. Kalau pelaku lainnya tidak berpredikat sebagai pejabat publik, sebaliknya Ahok adalah Gubernur DKI Jakarta, gubernur ibu kota negara.
Selain itu, kalau peristiwa penistaan agama lainnya tidak terkait dengan kepentingan politik, kasus Ahok sarat akan kepentingan politik. Saat Ahok diduga melakukan penistaan agama, ia berstatus sebagai calon petahana Pilgub DKI 2017 yang diusung oleh 4 parpol penguasa.
Dan, karena momennya bertepatan dengan masa pemilu, maka mau tidak mau kasus ini pun melibatkan masa pendukung masing-masing pasangan calon. Artinya sudah terjadi benturan di tingkat akar rumput.
Benturan di tingkat akar rumput ini bukan saja melibatkan warga Jakarta, tetapi juga warga negara Indonesia lainnya yang tinggal di segala penjuru tanah air. Akibatnya, terjadilah benturan dengan skala besar dan masiv. Benturan antar akar rumput dengan skala besar inilah yang menjadi syarat kedua terjadinya makar.
Setelah “bahan baku” kudeta sudah ada. Tinggal bagaimana mengeksekusinya. Bisa lewat jalan konstitusional yang diawali dengan keluarnya mosi tidak percaya dan diakhri dengan pemilu. Atau, pengambilalihan paksa oleh militer.”
Sementara, skenario serangan makar terhadap Jokowi juga sudah ditulisakan dalam "Potong Sumbu", Kapolri Hindarkan Jokowi dari Upaya Di-Soeharto-kan yang diposting pada 05 Desember 2016 dituliskan,
“Jadi, sangat jelas kalau pada 2 Desember 2016 sedikitnya ada 2 potensi bentrokan massal. Inilah yang harus dicegah oleh Polri dengan “momotong sumbu” sebelum terjadi “ledakan” kecil yang berpotensi membakar ke segala arah. Polisi memotongnya dengan menangkapi aktivis terduga makar yang pada hari itu menyebar, sebagian di Monas dengan mengikuti Aksi 212 dan sebagian lagi di Gedung DPR/MPR. Sumbu yang mengaitkan Monas dengan Gedung DPR/MPR inilah yang dipotong oleh Polri.
Perlu juga dicermati, sehari sebelum Aksi 212 dilangsungkan beredar himbauan dari sejumlah tokoh kepada peserta aksi untuk membawa berbagai perlengkapan pribadi, di antaranya, odol, masker, dan kacamata renang. Apa manfaat dari odol, masker, dan kacamata renang bagi massa Aksi 212 yang ingin mengikuti kegiatan ibadah? Maka perlu dipertanyakan, apakah himbauan itu disebarluaskan untuk mengantisipasi terjadinya kerusuhan, atau persiapan untuk membenturkan peserta aksi dengan aparat keamanan?
Bayangkan kalau 0,1 % saja dari peserta Aksi 212 yang terpancing oleh provokasi? Apa jadinya? Dan perlu diperhatikan juga, Aksi 212 direncanakan berakhir pada pukul 13.00 WIB atau siang hari, bukan seperti Aksi 411 yang berakhir lepas pukul 18.00 WIB.
Karenanya cukup dengan menyulut terjadinya bentrokan di Monas, kerusuhan dengan skala besar diperkirakan akan terjadi. Bukan hanya di Jakarta, tetapi juga menjalar ke sejumlah daerah”
Dalam sejumlah artikel dituliskan tentang skenario menjatuhkan Jokowi dengan model Mesir. Model Mesir ini mirip-mirip dengan peristiwa 1998 yang berujung pada lengsernya Soeharto.
Dalam artikel “Soal Makar, Kapolri dan Menhan Sama-sama Benar” dan beberapa artikel lainnya juga dituliskan tentang ketidakmungkinan TNI melancarkan kudeta secara langsung.
Misalnya, Dalam “Soal Makar, Kapolri dan Menhan Sama-sama Benar”, dituliskan, “Sekarang, apa mungkin TNI melancarkan kudeta? Untuk melancarkan aksi kudeta, militer harus solid dalam satu komando. Bukan hanya pada saat aksi dilancarkan, tetapi juga setelahnya. Tanpa komando di satu tangan, kudeta militer akan mendapat perlawanan dari kubu militer lainnya. Ini yang terjadi di Libya dan Suriah.