Dalam konteks ini, lingkup politik identitas menjadi semakin kompleks. Organisasi-organisasi yang berusaha mempromosikan ekonomi halal sering kali terjebak dalam perdebatan tentang siapa yang berhak menggunakan label "halal". Ada kekhawatiran bahwa branding Islam yang kuat bisa mengarah pada pemisahan yang tidak perlu di antara individu atau kelompok. Misalnya, ada tekanan untuk menstandarisasi sertifikasi halal yang pada akhirnya dapat mengecualikan produk tertentu yang seharusnya memenuhi syarat.
Dengan pandangan global yang lebih terbuka, ekonomi halal juga menghadapi tantangan dari pendekatan yang lebih sekuler dan inklusif. Di banyak negara, produk halal tidak hanya diminati oleh konsumen Muslim, tetapi juga oleh mereka yang tidak beragama yang mencari produk berkualitas tinggi, sehat, dan ramah lingkungan. Keadaan ini menciptakan peluang sekaligus tantangan dalam memperluas pasar bagi produk halal. Brand-brand harus bijak dalam menyampaikan pesan mereka—bagaimana mengangkat nilai-nilai Islam tanpa menyinggung perasaan berbagai kelompok yang ada.
Salah satu contoh nyata dari polarisasi identitas dan branding Islam di pasar global adalah kemunculan berbagai festival halal yang tidak hanya menampilkan produk makanan, tetapi juga pakaian, kosmetik, dan produk lainnya yang sesuai syariah. Festival-festival ini sering kali menghadirkan pertunjukan budaya dan seni yang beragam, menciptakan ruang interaksi antar budaya. Namun, di saat yang sama, mereka juga dapat memicu perdebatan tentang batasan identitas dan representasi yang sesuai.