Sekarang banyak pengamat, politisi, akademisi, tokoh LSM, dan lainnya yang meributkan soal presidential threshold (PT) atau ambang batas syarat pencalonan presiden. Banyak yang menolak dengan dalih ini-itu.
Padahal, lewat artikel ini http://www.kompasiana.com/gatotswandito/dampak-presidential-threshold-yang-tidak-terpikirkan-dpr-dan-para-pakar_552844356ea8347f2a8b45bc Saya sudah sejak tahun 2013 mempersoalkannya. Jadi, boleh dong kalau sekarang saya menertawai para pengamat, politisi, akademisi, tokoh LSM, dll.
Menjadi Calon Presiden Republik Indonesia itu tidak mudah. Selain harus memenuhi rentetan persyaratan individu, dalam UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, calon presiden pun hanya bisa diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik. Kesulitan untuk menjadi capres pun bertambah dengan adanya presidential threshold (PT) atau ambang batas minimal.
Ambang batas minimal menurut UU Pilpres Pasal 9, pasangan capres-cawapres harus diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu yang memenuhi perolehankursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR-RI atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR-RI.
Di tengah perdebatan perlu tidaknya revisi PT, nampaknya anggota parlemen, pemerhati politik, dan banyak lainnya hanya terfokus pada besaran angka-angkanya saja. Parlemen berasumsi semakin tinggi PT semakin aman presiden dari gangguan “oposisi Senayan”.
Selain itu, parlemen hanya memikirkan berapa banyak pasangan capres-cawapres dalam pilpres. Senayan mengabaikan dampak negatif dari PT yang berpotensi mengganggu kinerja presiden terpilih. Mereka tidak bercermin dari pengalaman pilpres 2009 di mana para calon wajib mencari dukungan parpol untuk memenuhi PT.
Dukungan parpol kepada pasangan calon tersebut tentu saja tidak gratis. Parpol pendukung meminta kompensasi sebesar-besarnya atas dukungannya. Sementara, misalnya, jumlah kursi menteri dan pos-pos strategis pemerintahan serta BUMN jumlahnya terbatas