Sudan telah menjadi sorotan dunia setelah terjadinya kudeta militer pada tahun 2021, yang mengguncang upaya transisi demokrasi di negara tersebut. Sejak jatuhnya rezim Omar al-Bashir pada April 2019, Sudan telah menjalani masa transisi yang dipenuhi harapan akan perubahan politik menuju sistem yang lebih demokratis. Namun, langkah maju ini terhambat oleh konflik internal dan ketegangan antara militer dan kelompok sipil yang menginginkan reformasi.
Kudeta militer yang terjadi pada 25 Oktober 2021 dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan. Ia mengambil tindakan ekstrem dengan mengeluarkan Menteri Pertahanan dan mengamankan para pemimpin sipil, termasuk Perdana Menteri Abdalla Hamdok. Langkah ini mengejutkan banyak pihak, terutama karena sebelumnya kedua pihak—militer dan kelompok sipil—telah berkomitmen untuk berbagi kekuasaan dalam kerangka transisi. Setelah kudeta, Sudan terjebak dalam ketidakpastian dengan demonstrasi massal yang dipimpin oleh rakyat yang menuntut pemulihan pemerintahan sipil.
Kudeta ini tidak hanya mencederai harapan rakyat Sudan yang menginginkan demokrasi, tetapi juga mengundang kecaman luas dari masyarakat internasional. Negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa, mengekspresikan penolakan mereka terhadap tindakan militer tersebut dan menyerukan adanya kembalinya pemerintah sipil. Selain itu, Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa juga berkontribusi dalam upaya untuk mendesak dialog antara semua pihak yang terlibat.