Dalam skala provinsi, Gubernur Jokowi Widodo dan Wakil Gubernur Basuki Tjahaya Purnama yang didukung PDIP dan Gerindra dengan jumlah total 17 kursi dari total 94 kursi yang secara hitung-hitungan tidak aman, namun dalam kenyataannya justru anggota dewanlah yang gamang menggunakan hak interpelasinya berkaitan dengan Kartu Jakarta Sehat. Kasus di Jakarta pun membuktikan jumlah kursi parlemen tidak signifikan terhadap keamanan pemimpin.
Selain dampak negatif berupa penyanderaan presiden dan tidak efektifnya PT dalam mengamankan presiden, besaran PT pun mencerminkan ketidakdemokratisan anggota dewan karena dengan mematok PT tinggi sama saja dengan menghalangi gagal majunya capres potensial dari partai gurem. Padahal untuk lolos ke Senayan saja parpol sudah disaring terlebih dulu lewat parliamentery threshold sebesar 3,5%.
Oleh karena itu sebaiknya untuk pemilu presiden ke depan, PT ditetapkan 0% (nol persen). Hal ini selain untuk menjaring semaksimal mungkin pasangan capres-cawapres (paling tinggi sejumlah parpol yang lolos parliamentery threshold) juga untuk meminimalisasi tersanderanya presiden oleh kungkungan kepentingan-kepentingan politik-ekonomi yang berpotensi mengacaukan jalannya pemerintahan.
Begitu artikel yang saya posting 3 tahun yang lalu. Waktu itu tidak ada yang meributkan PT.
Tapi, apapun itu, sangat mengherankan kalau pemerintah Jokowi ngotot dengan sistem PT. Bukankah itu sama saja dengan membuatnya terkerangkeng dengan parpol-parpol pendukungnya.