Pada tahun 2023, Greenland menjadi saksi bagi kejadian luar biasa yang mengejutkan masyarakat dan ilmuwan di seluruh dunia. Sebuah megatsunami setinggi 200 meter melanda wilayah Fjord Greenland, memicu keingintahuan dan kebingungan di kalangan para ilmuwan tentang penyebabnya. Kejadian ini baru terungkap setahun setelah peristiwa tersebut, menyoroti betapa sedikitnya informasi yang tersedia untuk menganalisis fenomena alam yang serupa.
Menurut laporan, pemicu dari megatsunami tersebut adalah longsor besar-besaran yang terjadi ketika sekitar 25 juta meter kubik material, terdiri dari batu dan es, jatuh dari lereng yang berkisar antara 600 hingga 900 meter. Proses longsoran ini bukanlah sesuatu yang biasa, melainkan merupakan hasil dari berbagai interaksi alamiah yang berpotensi terkait dengan perubahan iklim. Citra satelit yang diambil setelah kejadian menunjukkan bahwa ada empat longsor yang terjadi hampir bersamaan, menambah risiko terjadinya bencana ini.
Kristian Svennevig, seorang ilmuwan dari Survei Geologi Denmark dan Greenland, menjelaskan bahwa saat mereka memulai penelitian ilmiah untuk memahami kejadian itu, kebingungan melanda para peneliti. "Kami menemukan bahwa semua orang terkejut dan tidak ada satu pun yang memahami sepenuhnya tentang situasi ini," ujarnya. Meskipun sudah ada pemahaman dasar mengenai hubungan antara longsor dan megatsunami, tim Svennevig menyadari bahwa penelitian interdisipliner dan kolaborasi internasional adalah kunci untuk memecahkan teka-teki ini.
Dalam jurnal yang ditulis oleh tim ilmuwan tersebut, mereka menyatakan bahwa megatsunami berlangsung selama seminggu dan memiliki arah gelombang yang tegak lurus terhadap gelombang awal tsunami yang terjadi. Meskipun para ilmuwan berhasil membangun gambaran mengenai fenomena ini, mereka masih dapat mengungkapkan kemungkinan penyebab dari megatsunami secara lebih mendalam. Peneliti menyoroti bahwa longsoran yang terjadi dapat dipicu oleh perubahan iklim yang signifikan. Adanya perbedaan suhu ekstrem antara musim panas dan musim dingin berkontribusi pada terjadinya longsor pada musim semi, ketika tanah dan es terlalu jenuh air.