Masalahnya bukan hanya soal nominal, tapi soal prinsip keadilan. Keluarga dari kelas bawah kian sulit mengakses perguruan tinggi negeri yang dahulu dianggap lebih terjangkau dibanding swasta.
“Pendidikan tinggi jangan sampai jadi barang mewah. Ini bukan soal subsidi, tapi soal hak,” ujar Euis Kartika, pengamat pendidikan dari LIPI.
Ketimpangan Peluang Semakin Nyata
Data dari BPS menunjukkan bahwa hanya sekitar 11% lulusan SMA/SMK dari keluarga miskin yang berhasil melanjutkan ke perguruan tinggi. Faktor biaya menjadi hambatan utama, selain lokasi dan akses informasi.
“Jika tren ini terus berlangsung, kesenjangan pendidikan akan makin tajam dan mempengaruhi mobilitas sosial,” tambah Euis.