Temuan mereka menunjukkan bahwa antara tahun 2000 dan 2002, tidak hanya terjadi pengurangan drastis air tanah, tetapi dampaknya juga terasa pada kenaikan permukaan laut global yang melonjak sekitar 1,95 milimeter per tahun. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kontribusi dari pencairan es di Greenland, yang hanya menyumbang sekitar 0,8 milimeter per tahun dalam periode yang sama.
Yang mengkhawatirkan, tren kehilangan air tanah ini tidak berhenti di situ. Dari tahun 2003 hingga 2016, sekitar 1.000 gigaton air tanah kembali hilang. Hingga tahun 2021, belum ada tanda-tanda bahwa tingkat kelembaban tanah telah pulih ke kondisi semula. Ini menunjukkan adanya pergeseran jangka panjang dalam pola penyimpanan air di daratan, dan kemungkinan besar menjadi sinyal krisis air yang lebih luas di masa depan.
Dampak dari pergeseran sumbu Bumi tidak hanya bersifat akademis atau geofisik. Wilson menekankan bahwa meskipun perubahan sebesar 45 cm tampak kecil dalam skala global, implikasinya terhadap teknologi seperti GPS dan sistem navigasi lainnya bisa sangat besar. Sistem navigasi satelit bergantung pada posisi rotasi Bumi yang presisi, dan pergeseran poros bahkan dalam skala milimeter saja bisa menimbulkan kesalahan perhitungan dalam penentuan lokasi.
Perlu dicatat bahwa pergeseran ini juga berkorelasi dengan wilayah-wilayah yang mengalami kekeringan ekstrem dalam dua dekade terakhir, seperti Asia Timur dan Tengah, sebagian besar Amerika Utara dan Selatan, serta kawasan Afrika Tengah. Artinya, ada hubungan erat antara perubahan iklim regional, kekeringan, dan pergeseran massa air global.
Penelitian ini menjadi peringatan keras akan dampak lingkungan dari eksploitasi air tanah yang berlebihan. Ketergantungan manusia terhadap air tanah semakin besar, namun sistem alam tidak mampu menyeimbangkan pengambilan dan pengisian ulang. Jika tren ini berlanjut, bukan hanya ketersediaan air yang terancam, tetapi juga stabilitas fisik planet yang kita huni.