Pada awal abad ke-20, seiring dengan semakin meluasnya pendidikan tinggi dan spesialisasi disiplin ilmu, kebutuhan akan tugas akhir yang terstruktur untuk jenjang sarjana (bachelor's degree) mulai dirumuskan. Skripsi (atau thesis/dissertation untuk tingkat sarjana di beberapa negara) kemudian diadopsi sebagai cara standar untuk:
Mengukur Kemampuan Riset Mahasiswa: Menguji apakah mahasiswa mampu mengidentifikasi masalah, mengumpulkan dan menganalisis data, serta menyajikan temuan secara ilmiah.
Menunjukkan Penguasaan Bidang Ilmu: Memastikan mahasiswa memiliki pemahaman mendalam tentang suatu topik dalam disiplin ilmu mereka.
Mengembangkan Kemampuan Menulis Ilmiah: Melatih mahasiswa untuk berkomunikasi ide-ide kompleks secara jelas, logis, dan berdasarkan bukti.
Sarana Kontribusi Pengetahuan: Meskipun pada tingkat S1 seringkali bukan penemuan yang sangat orisinal, skripsi tetap menjadi latihan untuk berkontribusi pada korpus pengetahuan.
Di Indonesia, konsep skripsi ini juga diadopsi sebagai bagian dari sistem pendidikan tinggi yang berkembang setelah kemerdekaan, menyesuaikan dengan standar internasional dalam menilai kompetensi lulusan sarjana. Ini adalah refleksi dari model universitas riset yang menuntut mahasiswa untuk memiliki keterampilan berpikir kritis, analitis, dan kemampuan riset dasar sebelum terjun ke dunia profesional atau melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Jadi, skripsi bukanlah tiba-tiba muncul, melainkan merupakan evolusi panjang dari praktik akademik yang berakar pada tradisi disputasi abad pertengahan, perkembangan metode ilmiah era pencerahan, dan pengarusutamaan riset sebagai inti pendidikan tinggi pada abad ke-19.