Pernah dengar istilah gaslighting? Itu kondisi di mana seseorang memanipulasi orang lain sampai korbannya meragukan ingatan, persepsi, atau bahkan kewarasannya sendiri. Nah, self-gaslighting itu mirip, tapi pelakunya bukan orang lain, melainkan diri kita sendiri. Itu adalah kebiasaan berbahaya di mana seseorang secara tidak sadar meremehkan perasaan, pengalaman, atau intuisinya, bahkan sampai menyalahkan diri sendiri atas hal-hal yang tidak seharusnya. Ini seperti memiliki manipulator internal yang terus-menerus membisikkan keraguan, membuat kita kehilangan pegangan pada realitas diri sendiri.
Memahami Mekanisme Self-Gaslighting
Self-gaslighting seringkali berakar dari pengalaman masa lalu yang traumatis atau lingkungan yang tidak suportif, di mana perasaan atau kebutuhan seseorang sering diabaikan atau divalidasi. Misalnya, tumbuh di keluarga yang selalu menuntut kesempurnaan, atau pernah mengalami hubungan di mana pendapat kita selalu dianggap salah. Lama-kelamaan, pikiran ini terinternalisasi, membentuk kebiasaan meragukan diri sendiri.
Ini bukan sekadar keraguan diri biasa, tapi sebuah pola pikir yang merusak. Seseorang yang melakukan self-gaslighting akan cenderung mengabaikan sinyal internal yang penting. Saat merasa sedih, mereka mungkin langsung menepisnya dengan "Ah, ini cuma perasaan sesaat, enggak penting." Saat merasakan ketidakadilan, mereka mungkin berpikir, "Pasti salahku, aku terlalu sensitif." Mereka memvalidasi pengalaman buruk dengan menyalahkan diri sendiri, daripada melihat realitas atau mencari solusi. Ini menjadi mekanisme pertahanan diri yang keliru, di mana mereka percaya bahwa jika mereka menyalahkan diri sendiri, mereka bisa mengendalikan situasi atau menghindari rasa sakit yang lebih besar.
Tanda-Tanda Kita Melakukan Self-Gaslighting