Di tengah arus modernisasi yang semakin deras, tenun Sekomandi dari Kalumpang, Mamuju, Sulawesi Barat, tetap berdiri kokoh sebagai simbol warisan budaya yang sarat makna spiritual dan nilai sejarah. Wakil Menteri Pariwisata Ni Luh Puspa menegaskan bahwa tenun Sekomandi bukan hanya sekadar kain tradisional, melainkan cerminan kearifan lokal yang mengikat kehidupan masyarakat, membentuk ekosistem budaya, serta menjadi daya tarik wisata yang mampu mengangkat nama Sulawesi Barat ke kancah internasional. Dalam kunjungannya ke Rumah Tenun Sekomandi di Kalumpang, ia menekankan pentingnya menjaga dan melestarikan peninggalan leluhur yang telah diwariskan selama berabad-abad.
Sejarah panjang tenun Sekomandi membuatnya kian istimewa. Kain ini diyakini sebagai salah satu tenun tertua di dunia, dengan usia lebih dari lima abad. Pada tahun 2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkannya sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia, sebuah pengakuan resmi atas nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Tidak berhenti di situ, beberapa motif kain Sekomandi bahkan memiliki kemiripan dengan ornamen seni prasejarah yang ditemukan di situs arkeologi Kalumpang, menandakan bahwa kain ini telah menyatu dengan peradaban masyarakat sejak zaman purba.
Salah satu motif paling terkenal adalah “Ulu Karua”, yang dikenal pula dengan sebutan “Ba’ba Deata”. Motif ini memiliki makna filosofis yang dalam. “Ulu Karua” berarti delapan ketua adat yang mewakili leluhur pemimpin masyarakat adat di masa lalu. Sedangkan “Ba’ba Deata” merepresentasikan kesatuan dan kekuatan rumpun keluarga besar. Menurut cerita turun-temurun, motif pertama tenun Sekomandi lahir ketika seorang nenek moyang pemburu bersama anjingnya menemukan daun bermotif di sebuah gua. Anjing itu menggigit daun tersebut, dan dari sanalah terinspirasi pola pertama yang kemudian diturunkan hingga kini. Kisah ini diwariskan secara lisan, menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya masyarakat Kalumpang.