Mengadopsi kurikulum dari luar negeri sering dianggap sebagai jalan pintas menuju pendidikan berkualitas tinggi dan berkelas dunia. Banyak sekolah di Indonesia, dari jenjang dasar hingga menengah atas, mulai beralih ke kurikulum internasional seperti Cambridge, International Baccalaureate (IB), atau kurikulum berbasis Amerika.Ada beberapa tantangan dan "minus" yang perlu dipahami secara mendalam. Keputusan mengadopsi kurikulum asing juga menanggung konsekuensi yang bisa memengaruhi siswa, guru, dan bahkan sistem pendidikan nasional.
Hilangnya Konteks dan Keterasingan Budaya Lokal
Salah satu tantangan terbesar dari mengadopsi kurikulum luar adalah potensi hilangnya konteks lokal. Kurikulum internasional dirancang berdasarkan standar, nilai, dan budaya negara asalnya. Materi pelajaran seringkali lebih fokus pada sejarah, geografi, atau sastra dari negara-negara Barat. Hal ini bisa membuat siswa asing terhadap budaya, sejarah, dan nilai-nilai bangsanya sendiri. Mereka mungkin lebih familiar dengan Revolusi Industri di Eropa daripada perjuangan kemerdekaan di Indonesia, atau lebih memahami karya sastra Shakespeare daripada karya Pramoedya Ananta Toer.
Ketidakseimbangan ini bisa menciptakan generasi yang terasing dari identitas budayanya. Mereka mungkin mahir dalam bahasa Inggris dan memiliki wawasan global, tetapi minim pemahaman tentang akar budaya sendiri. Ini dapat menjadi isu serius dalam jangka panjang, terutama dalam membangun rasa nasionalisme dan kecintaan pada tanah air. Kurikulum internasional juga mungkin tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila atau tradisi lokal yang penting untuk pembentukan karakter.
Beban Biaya yang Tinggi dan Masalah Aksesibilitas
Menerapkan kurikulum internasional membutuhkan biaya yang sangat tinggi, dan ini adalah salah satu "minus" paling nyata. Biaya tersebut mencakup: